GAds

Analisis Hukum “Kasus” Kekeyi

Sebenarnya, admin bukanlah fans berat Kekeyi atau justru cenderung abai dengan popularitasnya. Namun kasus yang terjadi beberapa hari lalu ini sangat menarik untuk dibahas dari sudut pandang hukum. Duduk perkaranya, pada 29 Mei 2020 Kekeyi merilis lagu berjudul “Keke Bukan Boneka” di platform streaming video online YouTube. Lagu tersebut kemudian viral dan sempat menduduki trending Nomor #1 YouTube. Namun beberapa hari setelahnya, video lagu tersebut dihapus (Take Down) oleh pihak YouTube. Hal tersebut terjadi karena adanya klaim Hak Cipta dari Sony Music Indonesia yang merupakan label rekaman yang merilis lagu “Aku Bukan Boneka“-nya Rinni Wulandari. Tentu saja “kasus” ini menjadi viral karena tidak sedikit yang membela Kekeyi. Apalagi dalam klarifikasinya menyatakan bahwa Kekeyi tidak pernah mendengar lagu itu. Lalu intinya, bagaimana analisis hukum kasus Kekeyi tersebut?

Dalam hukum positif Indonesia, Hak Cipta diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Mulai mual kah Rencang mendengar nomenklatur undang-undang? Tenang, dalam tulisan ini admin berusaha menjelaskan materi hukum secara mudah. Eksplanasi post ini akan memadukan antara hukum dan teori. Tanpa bertele-tele, mari kita bahas perlahan-lahan.

Dua Sisi Hukum bagi Dua Pihak

Ini yang menarik, bahwa ternyata dalam “kasus” ini hukum dapat saja condong pada dua pihak. Baik Kekeyi maupun Rinni Wulandari yang didukung Sony Music Indonesia dapat memiliki dasar masing-masing. Oleh karena itu admin menyebutnya dua sisi hukum bagi dua pihak.

1. Pedang Hukum Rinni Wulandari ft. Sony Music Indonesia

Sebagai salah satu label rekaman terbesar, tentu saja Sony Music Indonesia tidak akan meremehkan apa yang disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual. Hak Cipta termasuk Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi oleh hukum sebagai reward atas kreativitas pencipta. Sebagai hadiahnya, hukum mempersilahkan pencipta untuk menikmati hak moral dan hak ekonomi ciptaannya. Artinya, pencipta berhak untuk mengkomersialisasi ciptaannya. Dimana peranan hukum? Tentu saja hukum “membentengi” karya pencipta dari oknum plagiator. Pihak yang tidak memiliki hak dan tidak berizin tentu saja dilarang menikmati hak apapun dari ciptaan itu. Bahkan jika ada pihak yang melanggar, pencipta memiliki mekanisme hukum untuk menyeret pihak itu ke meja hijau, mengadilinya, bahkan meminta ganti kerugian.

Nah apa hubungannya dengan kasus ini? Sony Music Indonesia tentu saja aware untuk mendaftarkan Hak Cipta atas lagu Rinni Wulandari ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Maka, lagu itu pun memiliki perlindungan hukum dari oknum plagiator. Sampai sini mungkin ada netizen yang murka “loh tapi kan ga ada mirip-miripnya???”. Well, suatu kemiripan itu merupakan subjektifitas. Nah berkaitan dengan ini, ikuti penjelasan admin sampai akhir ya biar ga salah paham. Kalem.

2. Perisai Hukum Kekeyi

Lantaran Sony Music Indonesia telah mendaftarkan Hak Cipta atas lagu Rinni Wulandari, bukan berarti Kekeyi tidak memiliki perisai hukum ya, Rencang. Secara teori, yang namanya pelanggaran Hak Cipta pada dasarnya menekankan pada “sumber” dari ciptaan, bukan “kesamaan” ciptaan. Mudahnya begini, Rencang tau kan jika karya fotografi juga dilindungi oleh Hak Cipta? Nah kalau begitu, jika kamu memotret suatu gunung dengan HP iPh*ne dan admin memotret gunung yang sama dengan HP Sams*ung. Lalu setelah disandingkan, hasil jepretan kamu dan admin terlihat sama persis baik sudut pandang, tone warna, saturasi dan lain sebagainya. Lantas, apakah bisa disebut admin melanggar Hak Cipta? Jawabannya adalah, “Tidak”. Dua objek ciptaan seberapapun identik dan kemiripannya, jika berasal dari sumber berbeda, maka dapat dikatakan memunculkan dua Hak Cipta yang berbeda.

Nah sama seperti kasus ini, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa lagu Kekeyi dan Rinni Wulandari mirip, tapi jika dua lagu itu memang berbeda sumber dan inspirasi maka dua-duanya adalah dua ciptaan berbeda dan tidak saling melanggar Hak Cipta. Mengenai Sony Music Indonesia yang telah mendaftarkan, sebetulnya belum tentu memberi keberpihakan hukum bagi Rinni Wulandari. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta, sifat dari Hak Cipta adalah otomatis melekat sejak ciptaan diumumkan. Dengan Kekeyi yang menyebarkan lagunya melalui YouTube, secara otomatis lagu itu dilindungi Hak Cipta (dengan atau tanpa adanya klaim Hak Cipta dari pihak lain).

Apa yang harus dilakukan?

“Kasus” ini menjadi semakin rumit karena secara non-yuridis, kedua belah pihak memiliki argumentasi masing-masing. Sony Music Indonesia dan Rinni Wulandari menuduh bahwa pola atau corak musik yang dirilis Kekeyi memiliki kemiripan yang identik dengan lagu yang dinyanyikan Rinni Wulandari. Misalnya saja tema yang diambil sama-sama mengangkat tentang “bukan boneka”. Atau ada pakar yang juga menyatakan kemiripan melodi di kedua lagu tersebut. Di sisi lain, Kekeyi mengklaim bahwa dirinya sama sekali tidak pernah mendengar lagu Rinni Wulandari. Dan memang kemiripan dua buah ciptaan yang saling tidak tau bukanlah perkara baru. Walaupun kemudian blunder “Kasus” ini semakin menjadi karena ada teman Kekeyi yang berusaha membongkar aib.

Namun sebagai masyarakat awam, baik admin, kamu dan rencang-rencang sekalian tidak memiliki kewenangan untuk menghakimi pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kewenangan pembuktian itu memang seharusnya diserahkan kepada Pengadilan sesuai amanat Undang-Undang Hak Cipta. Pencipta dapat mengajukan gugatan jika dirasa ada pihak yang menciderai haknya. Dalam “Kasus” ini, apa yang dilakukan oleh pihak Sony Music Indonesia sudah tepat yaitu melayangkan somasi kepada Kekeyi. Maka lebih baik lagi jika “Kasus” ini dibawa ke meja hijau untuk membuktikan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kekeyi seharusnya tidak perlu takut dipenjara jika merasa tidak bersalah. Mekanisme pembuktian hukum perlu dijalani untuk mendapatkan hasil yang adil dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.

Selalu ada hikmah yang bisa diambil

Walaupun Kekeyi telah mengajukan permohonan maaf kepada Rinni Wulandari, namun “Kasus” ini belum sepenuhnya selesai. Perang argumentasi masih memanas diantara dua pihak yang berseteru. Bahkan setelah sempat terkena Take Down, video lagu Kekeyi akhirnya tayang kembali dan dapat diakses melalui YouTube. Maka jika sudah begini, hanya gugatan pengadilan yang dapat menyelesaikan pertikaian antara Rinni ft. Sony dan Kekeyi. Namun walaupun “Kasus” ini belum selesai dan belum ada putusan pengadilan yang menyatakan mana yang salah dan mana yang benar, kita secara prematur tetap dapat mengambil hikmah berharga. Bahwa memang yang disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual memegang peran yang penting bahkan sangat berharga bagi pencipta.

Bens Leo selaku pengamat musik menyatakan bahwa “Kasus” ini harus diusut tuntas, sehingga menjadi pelajaran bagi banyak pihak terutama para pemengaruh (influencer). Bagi mereka yang ingin terkenal secara instan agar tidak melakukan aransemen (cover) lagu tanpa seizin pencipta yang sah. Dan bagi yang merasa memiliki karya orisinal, ada baiknya mendaftarkan hak ciptanya sebelum mendapat klaim dari pihak lain. Memang terasa sulit dan ribet, namun lebih baik mengantisipasi di awal daripada harus menjalani tuntutan hak dari pihak lain. Belum lagi tercorengnya nama baik hanya karena menyepelekan aspek legalitas. Hak Cipta memang tidak wajib untuk didaftarkan. Namun pendaftaran Hak Cipta tentu memberi nilai tambah bagi pemerhati hukum khususnya institusi peradilan.

Demikian post tentang analisis hukum “Kasus” Kekeyi ini, jika ada pertanyaan atau berencana mendaftarkan Hak Cipta, para pencipta bisa mengakses tautan ini.

#TerbaikTercepatTerpercaya

#KlinikHukumTerpercaya

#SemuaAdaJalannya

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?