GAds

Analisis Kasus PMH Sengketa Hak Tanggungan (Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT.TJK)

Analisis Kasus PMH Sengketa Hak Tanggungan (Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT.TJK)

-Analisis Kasus PMH Sengketa Hak Tanggungan (Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT.TJK)-

Kali ini mimin ingin membahas dan menganalisis putusan banding terkait kasus perbuatan melawan hukum pada sengketa hak tanggungan yang sudah diputus oleh Pengadilan Tinggi Tanjungkarang (Bandar Lampung). TAPI, fokus dari pembahasan ini adalah pada isu “TANAH YANG MENJADI JAMINAN HAK TANGGUNGAN” ya Rencang.

Nah sekarang, lanjut ke pembahasannya ya Rencang. Selamat membaca!

I. KASUS POSISI

Sengketa yang terjadi dalam Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT TJK adalah sengketa hak tanggungan tanah antara Dukut (perorangan) melawan PT. BPR Dana Selaras selaku Kreditor dan Sulastri Trisiana, S.H., M.Kn selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT). Kasus ini merupakan Bantahan yang dilakukan oleh Dukut (PELAWAN) kepada Kreditor PT BPR Dana Selaras (TERLAWAN I) dan PPAT (PELAWAN II).

Adapun kasus posisi yang sudah mimin singkat sebagaimana dirujuk dari putusan, sebagai berikut:

  1. 3 Mei 2016 PELAWAN mengajukan kredit modal usaha ke PT. BPR Dana Selaras Sentosa (TERLAWAN I);
  2. Pengajuan kredit modal usaha yang diajukan PELAWAN ke PT BPR adalah peralihan kredit dari PT. Rabo Bank, dan sudah disetujui pada 9 Mei 2016;
  3. 9 Mei 2016 adalah penandatanganan akad kredit antara PELAWAN dengan TERLWAN I, namun PELAWAN tidak diberikan kesempatan untuk mempelajari isi perjanjian dalam akad kredit;
  4. Bahwa PELAWAN hanya diminta oleh pihak TERLAWAN I untuk langsung menandatanganinya agar kredit segera dicairkan;
  5. PELAWAN diketahaui sangat membutuhkan kredit tersebut, sehingga PELAWAN langsung menandatanganinya tanpa terlebih dahulu mempelajari isi perjanjian;
  6. Bahwa dokumen kredit yang dimiliki PELAWAN hanya surat pemberitahuan persetujuan kredit tertanggal 9 Mei 2016 dari TERLAWAN I (PT BPR) yakni surat nomor:173/SPPK/PRK0DSS/V/16 dan surat nomor: 174/SPPK/PRK-DSS/V/16;
  7. Surat Persetujuan Kredit dengan nominal sebesar Rp. 165.000.000 dengan jangka waktu kredit selama 72 bulan, dengan jaminan berupa:
    • Sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Desa Siswo Bangun Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten Lampung Tengah dengan luas tanah 1.310 M2 dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 171 tanggal 24 Januari 2000 atas nama Dukut dengan Surat Ukur No.54/2000 tertanggal 3 Januari 2000;
    • 3 ekor sapi masing-masing 500 kg;
  8. Bahwa berdasarkan Surat Nomor: 174/…., PELAWAN mendapatkan kredit dari TERLAWAN I sebesar Rp. 400.000.000 dengan jangka waktu selama 12 bulan dengan jaminan berupa sebidang tanah dan bangunan di Desa Sanggar Buana SHM No:106 tanggal 19 Nov 2007 atas nama Dukut dan Surat Ukur No. 97/Sanggar Buana/…..;
  9. Bahwa sesudah menandatangani perjanjian kredit, PELAWAN menerima dana kredit dari TERLAWAN I untuk menutup pinjaman di Rabo Bank;
  10. Bahwa PELAWAN mengalami kesulitan pembayaran karena usaha bangkrut;
  11. PELAWAN tetap melakukan pembayaran angsuran ke rekenening TERLAWAN I walaupun jumlah nominal yang dibayarkan kurang;
  12. Selanjutnya di bulan Februari 2017, PELAWAN mendapatkan somasi (teguran) dari TERLAWAN I karena mengalami penunggakan di dalam angsuran;
  13. PELAWAN mendapatkan informasi dari staf TERLAWAN I bahwa 2 SHM Tanah milik PELAWAN dijadikan JAMINAN KREDIT yang telah dibebani HAK TANGGUNGAN yang didaftarkan di Kantor BPN Kab. Lampung Tengah, dan sebelumnya dibuatkan APHT yang dibuat oleh PPAT yaitu TERLAWAN II;
  14. Bahwa PELAWAN kaget dan mendapat informasi bahwa jika tidak segera melakukan pembayaran atas tunggakan kreditnya, maka pihak TERLAWAN I akan melakukan eksekusi atas 2 SHM tanah tersebut;
  15. Bahwa PELAWAN tidak tahu-menahu terkait informasi adanya Pembebanan Hak Tanggungan terhadap SHM tanahnya;
  16. PELAWAN menganggap bahwa TERLAWAN I telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar Pasal 1320 BW;
  17. Bahwa PELAWAN tidak pernah memberikan kuasa (SKMHT) dan PELAWAN bahkan juga tidak mendapatkan salinan SKMHT kepada TERLAWAN I yang selanjutnya dibuat APHT oleh TERLAWAN II;
  18. Bahwa pada 9 April 2018, PELAWAN mendapatkan surat panggilan menghadiri aanmaning di PN Gunung Sugih dengan dasar penetapan Ketua PN yang menunjukkan fakta bahwa TERLAWAN I hanya berkeiningan untuk melakukan eksekusi atas tanah tersebut;
  19. Bahwa PELAWAN menghadiri aanmaning dan masih berikitikad baik untuk menawarkan pembayaran tunggakan kredit, namun tidak ditanggapi oleh TERLAWAN I;
  20. Bahwa Sita eksekusi tetap dilaksanakan pada 30 April 2018;
  21. Bahwa akibat dari hal tersebut, PELAWAN kehilangan tanah SHM nya;
  22. Sehingga, PELAWAN mengajukan Gugatan PERLAWANAN atas pelaksanaan sita eksekusi PN. PELAWAN juga tetap berikitikad baik tetap membayarkan pinjamannya kepada TERLAWAN I.
  23. Bahwa TERLAWAN I tetap bersikukuh menolak gugatan perlawanan yang diajukan oleh TERLAWAN

II. ISU HUKUM

Berdasarkan pada kasus posisi diatas, ditemukan isu hukum yang menjadi permasalahan antara lain:

  1. Dugaan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Kreditor dan PPAT.
  2. Kreditor secara melawan hukum membuat SKMHT, tanpa sepengetahuan dari Pemberi Hak Tanggungan (PELAWAN).
  3. Notaris secara melawan hukum membuat SKMHT.
  4. PPAT secara melawan hukum membuat APHT berdasarkan SKMHT yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan.

III. ANALISIS KASUS

Dalam kasus ini, PELAWAN menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah memberikan surat kuasa untuk membebankan hak tanggungan kepada PT. BPR (TERLAWAN I). PELAWAN menyatakan bahwa dirinya pun tidak diberikan edukasi terlebih dahulu saat penandatanganan perjanjian kredit oleh kreditor. Bila meninjau dari Penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT, diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya. Sehingga, bila tidak terpeuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT. Maka sudah sepatutnya karena kelalaian PT BPR selaku Kreditor telah melakukan perbuatan melawan hukum karena bertindak tanpa adanya surat kuasa dari pemberi hak tanggungan (PELAWAN), namun bertindak sendiri untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan di hadapan PPAT tanpa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Notaris Pembuat SKMHT dan APHT

Melihat bahwa Notaris/PPAT disini terlibat yaitu dirinya membuatkan SKMHT dan APHT, seharusnya Notaris/PPAT (TERLAWAN II) wajib menolak permohonan pembuatan SKMHT dan APHT tersebut apabila SKMHT tidak dibuat sendiri atau tanpa persetujuan oleh Pemberi Hak Tanggungan. Karena hal ini telah jelas tidak memenuhi persyaratan, sesuai yang dijelaskan pada penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan.

Diketahui dalam kasus ini bahwa APHT tersebut bahkan sudah didaftarkan di Kantor BPN, maka sangat jelas bahwa Notaris/PPAT tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum pula. Sehingga, seharusnya Kreditor (PT BPR) ini tidak memiliki hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan atas SHM tersebut seperti yang diatur pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Melihat perbuatan Notaris/PPAT ini, maka dirinya telah melanggar jabatannya pula, sebagaimana yang diatur pada UU No. 2 Tahun 2014 jo. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Dalam proses pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan, terlebih dahulu diperlukan adanya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang tentu saja perlu dibuat oleh pemberi hak tanggungan yaitu Dukut (PELAWAN I), baru selanjutnya diberikan kepada kreditor (PT BPR) untuk selanjutnya dapat diproses untuk pembuatan Akta Pembuatan Hak Tanggungan kepada PPAT. Pada dasarnya, tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya seusai dengan Penjelasan Pasal 25 dalam UU Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.

Berkaitan dengan Hak Tanggungan

Berkaitan dengan Hak Tanggungan, objek yang menjadi jaminan Hak Tanggungan dalam kasus ini adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah. Maka hal ini telah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Hak Tanggungan yang menyatakan pada intinya Hak Milik merupakan salah satu hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan. Selain itu ada pula objek hak tanggungan yaitu hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah negara. Sebagai tambahan, sebelum adanya UUPA dan UU Hak Tanggungan lahir, tanah merupakan objek jaminan hipotik. Peraturan yang menjadi panduan adalah KUH.Perdata. Namun setelah adanya UUPA dan UU Hak Tanggungan, tanah kini menjadi satu-satunya objek jaminan hak tanggungan.

Melihat dari subjeknya, pemberi hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Maka pemberi hak tanggungan dalam kasus ini yaitu Dukut selaku perorangan tidak melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan ini. Selanjutnya berkaitan dengan Pemegang Hak Tanggungan, dijelaskan dalam Pasal 9 bahwa pemegang hak tanggungan merupakan orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Maka dalam kasus ini pemegang hak tanggungan juga tidak melanggar ketentuan pasal ini.

Berkaitan dengan Eksekusi atas Jaminan

Berkaitan dengan eksekusi atas jaminan, dalam kasus ternyata terbukti bahwa memang pihak kreditor ini beriktikad tidak baik karena secara melawan hukum melakukan perbuatan yang telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya yaitu SKMHT dan APHT yang tidak sah, maka seharusnya Pasal 20 UU Hak Tanggungan secara otomatis tidak berlaku. Seharusnya pihak Kreditor tidak memiliki kewenangan untuk sita eksekusi karena perbuatan pemalsuan SKMHT dan APHT.

Melihat dalam kasus bahwa diketahui PELAWAN terus beriktikad baik untuk mengupayakan langkah damai dengan bukti dirinya terus membayar cicilan walaupun diperlakukan secara tidak baik oleh Kreditor, hal ini dirasa cukup membuktikan bahwa PELAWAN bersungguh – sungguh untuk tetap patuh dalam perjanjian kreditnya. Namun pihak kreditor tetap bersikukuh tidak mendengarkan upaya dari PELAWAN. Bahkan sejak awal pembuatan perjanjian kredit, dengan bukti bahwa Kreditor tidak memberikan edukasi atas perjanjian kredit kepada debitor, maka sejatinya hal ini sudah menyimpangi dan telah jelas bahwa kreditor tidak beriktikad baik.

Begitulah Rencang, semoga insightful ya!

Yuk baca artikel hukum Rewang Rencang lainnya, klik disini.

Konsultasi seputar legalitas usaha, langsung cus klik gambar Whatsapp dibawah kiri ya Rencang!

 

-Analisis Kasus PMH Sengketa Hak Tanggungan (Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT.TJK)-

-Analisis Kasus PMH Sengketa Hak Tanggungan (Putusan Nomor 98/PDT/2018/PT.TJK)-

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?