GAds

Disrupsi Internet vs. Etika Profesi Hukum

Banyak hal yang berubah semenjak internet memasuki Indonesia seiring dengan negara tercinta ini yang memasuki abad ke-21. Adanya “internetisasi” mendisrupsi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bukan hanya kemudahan mengakses informasi melainkan bagaimana aktivitas manusia lebih mudah untuk “dioperasikan”. Termasuk salah satunya di bidang hukum, yang mau tidak mau juga memberi dampak pada profesi hukum. Momentum ini juga yang ditangkap oleh kanal-kanal digital saat itu hingga lahirlah salah satu kanal hukum yang banyak dirujuk dan menjadi referensi hingga saat ini yaitu Hukum Online. Momentum tersebut berlangsung cepat dan sekejap hingga disrupsi internet pun menjadi fenomena yang tak terelakkan.

Fenomena tersebut tidak hanya sangat berguna bagi para pengampu profesi hukum. Manfaatnya juga dirasakan oleh masyarakat yang biasa disebut sebagai “masyarakat pencari keadilan”. Hal ini juga berkaitan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan hukum dan semakin terbukanya hukum bagi masyarakat (Access to Justice). Banyak keperluan-keperluan masyarakat yang bersinggungan dengan hukum saat ini. Bukan hanya yang bersifat litigasi seperti keperluan beracara di pengadilan, tapi juga yang bersifat non-litigasi seperti practice area Klinik Hukum Rewang Rencang ini. Bahkan dengan semakin canggihnya teknologi dan tuntutan keperluan akses atas informasi, masyarakat juga dapat memenuhi sendiri kebutuhan hukumnya.

Mengajukan permohonan tertentu kepada instansi yang berwenang, memantau status keperluannya hingga mengakses dokumen-dokumen yang diperlukan, semua aktivitas-aktivitas tersebut dapat diakses secara daring baik melalui aplikasi maupun website atau platform lainnya. Manfaat Internet dapat melancarkan aktivitas masyarakat. Seringnya dipersyaratkan nomor telepon dan surat elektronik (email) mengindikasikan transformasi pelayanan yang mulai memanfaatkan sarana internet. Dengan adanya fenomena tersebut, maka disrupsi teknologi khususnya internet pada aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan hukum tak perlu diperdebatkan. Sehingga bukan hanya tak dapat dipungkiri, tapi juga tidak mungkin dihindari.

Copyrights @3veta.com

Disini terlihat adanya tuntutan zaman, tuntutan masyarakat dan visi misi instansi publik untuk melakukan “internetisasi” terhadap layanan-layanan yang berhubungan dengan hukum. Apalagi jika mengingat masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan teknologi. Teknologi khususnya internet bukan lagi hal yang baru. Bahkan dengan peningkatan infrastruktur yang menjangkau daerah-daerah terpencil, masyarakat di daerah yang secara geografis kurang strategis. Seperti IndiHome yang merupakan produk dari Telkom Indonesia selaku BUMN di bidang jaringan telekomunikasi sehingga tidak berlebihan jika disebut sebagai Internetnya Indonesia. Masyarakat hanya tinggal melakukan pencarian melalui gawai. Dalam genggaman, masyarakat dapat melakukan apapun yang diinginkan termasuk dalam hal penyelenggaraan aktivitas berkaitan dengan hukum di Indonesia.

Tuntutan Kita vs. Etika

Walaupun masyarakat dan pemerintah berbondong-bondong melakukan internetisasi atas relung kehidupan, namun sepertinya profesi hukum masih “menolak” atau setidaknya setengah hati menerima fenomena tersebut. Hal ini terlihat dari organisasi profesi yang seolah enggan untuk merevisi kode etiknya. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa dalam kode etik profesi hukum khususnya “profesi lepas” seperti Notaris dan Advokat yang notabene tidak mendapatkan fee dari negara melainkan dari klien mereka. Pada Pasal 8 huruf B Kode Etik Advokat yang menyebutkan: “Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.”.

Begitu juga dalam kode etik Notaris yang tersebar dalam beberapa pasal yaitu Pasal 4 angka 2, 3 dan 13. Dalam Pasal 4 angka 2 dinyatakan bahwasannya Notaris dilarang untuk memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor. Sedangkan Pasal 4 angka 3 berbunyi Notaris dilarang melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk:

  1. Iklan;
  2. Ucapan Selamat;
  3. Ucapan Belasungkawa;
  4. Ucapan Terima Kasih;
  5. Kegiatan Pemasaran; dan
  6. Kegiatan Sponsor, baik di bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.

Sedangkan dalam Pasal 4 angka 13 menyatakan larangan Notaris untuk tidak melakukan kewajiban dan melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik dengan menggunakan media elektronik, termasuk namun tidak terbatas dengan menggunakan internet dan sosial media.

Dari dua kode etik tersebut, terlihat bahwa profesi Notaris dan Pengacara – yang notabene sebagai “ikon” profesi hukum yang dikenal oleh awam – masih membatasi penggunaan internet. Padahal berkaitan dengan iklan, promosi dan marketing bukan hanya semata untuk mendapatkan lebih banyak traction agar memudahkan closing. Penyebarluasan seperti itu dari kaca mata awam juga membuat masyarakat jadi mengetahui akan adanya eksistensi layanan hukum. Sehingga harapannya, masyarakat mengetahui mana profil praktisi hukum yang sesuai dengan kebutuhan hukum mereka. Mana notaris yang tepat berdasarkan bidang hukumnya. Apakah ada notaris terdekat di wilayah mereka. Bagaimana memilih jasa hukum yang profesional dan berkualitas untuk menghindari oknum yang hanya menyedot uang masyarakat pencari keadilan tanpa kepastian ujung kasus.

Informasi yang Inklusif: Hak Masyarakat atau Kepentingan Profesi?

Masyarakat sekarang memerlukan kepraktisan dalam segala hal, termasuk dalam mencari jasa hukum yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan kemudahan internet, semua *seharusnya* dapat dilakukan dengan genggaman tangan. Alangkah lebih baik jika kita dapat mencari jasa notaris atau pengacara hanya melalui gawai kita, sesuai dengan profil yang cocok dengan kebutuhan kita tentunya. Bukan hanya sekadar memilih Notaris atau Pengacara secara acak tanpa mengetahui bagaimana performa mereka. Ibaratnya, masak kalah sama memilih driver ojek online yang bisa dilihat performanya dari bintangnya? Atau melihat online shop dari rating dan testimoninya Masyarakat yang memiliki masalah hukum, sepertinya akan senang ketika sedang berselancar di internet lalu menemukan iklan jasa Notaris atau Pengacara (yang mana sekarang tidak mungkin ada karena kode etik yang strict). Mereka pasti akan berkata: “aha! ini yang aku cari!”.

Copyrights @trendlineglobal.net

Masyarakat jadi dapat memilah mana praktisi yang berkualitas dan menyisihkan yang tidak berkualitas. Saya rasa, “meng-inklusif-kan informasi” tentang layanan yang dikeluarkan oleh profesi hukum akan mendatangkan banyak manfaat dari pada mudharatnya. Lalu, mengapa kode etik seperti itu tidak dihilangkan saja? Kalau masalahnya berkaitan dengan modal (dimana logikanya, pengacara kaya akan mudah beriklan daripada pengacara yang biasa-biasa saja), toh iklan jaman sekarang murah jika mengandalkan sosial media. Kalau iklan yang dimaksud adalah iklan di televisi, surat kabar atau baliho, jelas memakan banyak biaya. Tapi sarananya sekarang sudah merambah di iklan pada sosial media yang jauh lebih affordable namun jauh lebih efektif dan efisien. Jika pertimbangannya “kasihan” dengan praktisi senior yang gaptek, saya rasa itu bukan alasan agar profesi ini bertahan tidak digerus zaman.

Beruntung, kantor kami merupakan konsultan hukum yang bergerak di bidang non-litigasi. Konsultan Hukum sendiri tidak memiliki kode etik layaknya Notaris dan Pengacara – setidaknya hingga saat ini. Dan karena tidak adanya kode etik yang mengikat, kami memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kami bahkan sering dianggap sebagai Notaris maupun Pengacara, padahal bukan disitu practice area kami. Kalau dibiarkan terus menerus, saya rasa tunggu tanggal mainnya hingga profesi hukum benar-benar mengalami disrupsi besar-besaran. Seperti apa yang diramalkan oleh salah satu Founder kami pada laman Kompasiana-nya yang menyatakan “beberapa waktu lalu saya mendengar dan melihat catatan lembaga bantuan hukum yang berpindah kantor, berubah kantor (jadi ruko baju), atau tutup kantor.” Atau menunggu bagaimana generasi praktisi kedepan akan mengobrak-abrik kode etik.

#TerbaikTercepatTerpercaya

#KlinikHukumTerpercaya

#SemuaAdaJalannya

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?