MENGENAL SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
Halo Rencang-Rencang, kita melihat bahwa akhir-akhir ini pemberitaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan di kalangan anak-anak marak terjadi, seperti penganiayaan, perundungan (bullying), bahkan pembunuhan. Ini menyebabkan makin banyaknya anak yang berkonflik dengan hukum. Apakah ada yang tahu apa yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum? Bila belum mengetahuinya, mari kita simak penjelasan berikut ini.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa yang dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Undang-Undang tersebut, Anak yang Berkonflik dengan Hukum termasuk dalam bagian dari Anak yang berhadapan dengan Hukum. Selain itu, anak yang menjadi Korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana juga menjadi bagian yang termasuk dalam pembahasan sistem peradilan pidana anak.
Kemudian, anak yang menjadi korban tindak pidana merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Selanjutnya, anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Namun dalam tulisan ini kita berfokus kepada Anak yang berkonflik dengan Hukum sesuai dengan pembuka di atas.
Undang-Undang tersebut juga dikatakan bahwa untuk anak-anak yang melakukan tindak pidana harus diperlakukan secara khusus, dengan kata lain bentuk perlakuannya tidak sama seperti orang dewasa pada umumnya. Proses berjalannya peradilan pada anak pun juga harus ditangani oleh sistem peradilan pidana yang khusus untuk anak-anak yang memiliki beberapa prinsip dan tujuan yang berbeda dengan sistem peradilan pidana untuk orang dewasa. Hal tersebut memiliki tujuan agar dapat memperbaiki perilaku anak dan menghindari terjadinya tindak pidana di masa depan.
Adapun para pihak yang terlibat di dalam jalannya proses peradilan pidana anak adalah:
- Penyidik, adalah Penyidik Anak;
- Penuntut Umum, adalah Penuntut Umum Anak;
- Hakim, adalah Hakim Anak;
- Pembimbing Kemasyarakatan, adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;
- Pekerja Sosial, adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial.
Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan kepala kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sedangkan penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan penyelidikan terhadap perkara pada anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Kemudian, Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak permintaan penyidik. Terkait pemeriksaan terhadap anak korban, penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan.Selanjutnya, terhadap anak yang diajukan sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi.
Apa yang dimaksud dengan diversi? Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidaaan di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut, adapun persyaratannya yaitu diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, serta bukan pengulangan tindak pidana. Selain ketentuan itu, berlaku pula terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi ini bertujuan untuk:
- Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
- Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- Menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Proses diversi melibatkan anak, orang tua, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional. Proses diversi tersebut diselesaikan berdasarkan pendekatan keadilan restorative justice. Penyelesaian perkara tindak pidana dilaksanakan untuk kepentingan para pihak untuk bersama-sama mencari penyelesaian atau win-win solution. Penyelesaian tersebut menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Hasil kesepakatan diversi yang didapat haruslah berakhir dengan damai dan disepakati oleh para pihak. Kesepakatan tersebut dapat berupa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, ataupun penyerahan kepada LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ). Bila kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi menerbitkan penghentian proses mulai dari penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan, maka proses pemeriksaan dilanjutkan. Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam jangka waktu yang ditentukan, maka pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat terkait untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan.
Proses pemeriksaan anak yang dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan dan/atau pemberi bantuan hukum dan petugas lainnya dalam memeriksa perkara anak, anak korban dan/atau anak saksi tidak menggunakan toga atau atribut kedinasan (sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak). Pada setiap tingkatannya pemeriksaan anak wajib diberi fasilitas bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping dengan ketentuan yang berlaku.
Pemeriksaan di tingkat pengadilan dilakukan dengan hakim tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam memeriksa perkara anak dengan majelis hakim dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun atau lebih, sulit mendapat pembuktiannya. Hakim majelis dalam memeriksa perkara anak dilakukan secara tertutup untuk umum, kecuali saat agenda sidang pembacaan putusan. Selama proses persidangan berlangsung, majelis hakim mewajibkan orang tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam hal orang tua, wali atau pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi penasihat hukum/advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau pembimbing kemasyarakatan (Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Hakim akan memberikan kesempatan kepada orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, lalu saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat bisa tidak dihadiri oleh anak.
Penahanan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sedangkan tempat anak mendapat pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Terhadap putusan Hakim tingkat pertama, baik Anak yang Berkonflik dengan Hukum maupun Penuntut Umum tentunya berhak mengajukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, dan PK (Peninjauan Kembali).
Jadi, dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana anak di Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem peradilan pidana dewasa yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan pidana anak menjunjung penanganan perkara anak yang mengedepankan restorative justice.