GAds

Perzinahan Menurut Hukum Adat Bali

  1. Pengenalan Mengenai Hukum Adat Bali

Hukum adat adalah endapan rasa kesusilaan masyarakat yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menjadi aturan Hukum Adat Bali setidaknya telah mengalami proses yang teruji oleh waktu (berulang dari waktu ke waktu) dengan penilaian berdasarkan Tri Samaya (atita: penyesuaian dengan masa lampau; wartamana: penyesuaian dengan masa sekarang; nagata: penyesuaian dengan masa yang akan datang); Tri Pramana (praktyasa: berdasarkan pengelihatan langsung; anumana: berdasarkan kesimpulan logis; agama: berdasarkan pemberitahuan orang yang layak dipercaya); serta rasa, utsaha, dan lokika.

Hukum Adat Bali selalu mengusahakan adanya keseimbangan triangulasi antara Tuhan, manusia, dan alam (Tri Hita Karana). Pelanggaran terhadap hukum adat dianggap menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis sekala-nislaka. Setiap perbuatan yang menggangu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan prajuru desa pakraman perlu mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan kembali harmoni yang terganggu. Maka pemulihan itupun mencakup dunia sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata), yang berwujud pamidanda (hukuman) berupa sangaskara danda (hukuman dalam bentuk pelaksanaan upacara), artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau harta), dan jiwa danda (hukuman pisik dan psikis). Penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum adat umumnya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi sudah disyaratkan wenang mesor singgih manut ring kasisipan ipun (berat ringannya hukuman harus sesuai dengan tingkat kesalahannya atau pelanggarannya). Dalam hal ini wiweka prajuru desa pakraman sangat menentukan. Pelaksanaan hukum adat termasuk sanksi adat selalyu mengutamakan kerukunan dan rasa kepatutan dalam masyarakat. Selain itu sanksi adat bersifat edukatif, mengutamakan upaya penyadaran dan tuntunan.

  1. Contoh Perkara Kasus

Perkara pelanggaran hukum campuran yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah kasus memitra (perzinahan) yang terjadi di Banjar Bia antara WL (48 tahun), seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas, dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati. Dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa Keramas, Kelihan Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan bahwa WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi). Perkara ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena disatu sisi merupakan pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif (Nasional), yang tertera dalam KUHP.

Kasus lain yang serupa adalah peristiwa hamil diluar nikah yang dialami oleh seorang gadis (AS) asal Desa Temesi Gianyar dan gagal meminta pertanggungjawaban dari seorang pria (GS) membawa konsekuensi kejadian ini berlanjut ke jalur Hukum dan delik Adat. AS dan keluarga yang gagal menuntut pertanggungjawaban dari si pria, membawa masalahnya ke ranah hukum pidana dalam persindangan. Dari sanksi adat tersebut  juga diterapkan oleh masyarakat Desa Temesi, bagaimana supaya AS mengembalikan keseimbangan di desa yang dianggap tercemar karena telah ada seorang wanita yang lahir diluar nikah.

  1. Penyelesaian Kasus dengan Hukum Adat

Perbandingan antara hukum pidana dan hukum Delik Adat disini adalah jika ada gangguan dalam kehidupan masyarakat hukum adat karena sifatnya yang komunal dan religius. Komunal atau kemasyarakatan artinya bahwa kehidupan manusia dilihat dalam wujud kelompok sebagai satu kesatuan yang utuh, individu yang satu dan lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makhluk sosial, kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan perseorangan. Sedangkan corak hukum adat lain yang juga berhubungan erat dengan penyelesaian kasus tersebut diatas adalah religius magis, yaitu menurut kepercayaan tradisional Indonesia, setiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makhluk-makhluk lainnya.

Dengan identiknya hukum adat dengan kedua corak tersebut, maka gangguan terhadap keseimbangan hidup masyarakat dan warga adat di desa atau suku tersebut harus dipulihkan. Gangguan ini umumnya dikenal dengan delik adat umum dikenal dengan delik adat atau pelanggaran adat. Delik yang paling berat menurut hukum adat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat, misalnya perbuatan penghianatan, delik terhadap diri pribadi kepala adat. Karena dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan hukum.

Jenis-jenis delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made Widnyana mengklasifikasikan jenis-jenisnya sebagai berikut:

  1. a) Delik adat yang menyangkut kesusilaan, contohnya lokika sangraha (persetubuhan atas dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati krama (berzina), gamia gamana (hubungan seksual antara orang-orang yang berhubungan darah sangat dekat); dan salah krama (berhubungan kelamin dengan binatang)
  2. b) Delik adat yang menyangkut harta benda, contohnya: pencurian, pencurian benda suci, merusak benda-benda suci, dan lain-lain,
  3. c) Delik adat yang melanggar kepentingan pribadi, seperti mamisuh (mencaci), mapisuna (memfitnah), dan lain-lain
  4. d) Delik adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban, seperti: tidak melaksanakan kewajiban sebagai kerama desa, yang berupaayahan (kewajiban melakukan pekerjaan untuk desa) ataupun papeson (urunan berupa barang ataupun barang).

Tindakan atau upaya (pertahanan adat atau adat reaksi) yang diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian. (soepomo : 1976 : 114). Pendechten van Het Adatrecht bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936 menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai berikut :

  1. Pengganti kerugian (immateril) dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.
  2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
  3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
  4. Penutup malu, permintaan maaf.
  5. Berbagai hukuman badan hingga hukuman mati. Pengasingan dari masyarakat serta meletekkan orang diluar tata hukum.

Hal tersebut diatas merupakan salah satu dari tujuan koreksi adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Koreksi adat ini adalah suatu tindakan untuk memulihkan perimbangan hukum dan perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara lahir dan dunia gaib. Di masyarakat adat Bali hubungan antara manusia dengan hal gaib bukan sesuatu yang tabu. Dimana masyarakat adat Bali sangat mempercayai adanya roh roh leluhur atau roh roh nenek moyang. Jadi hukum delik adat bisa diambil dari adat atau kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang.

Melihat dari kasus yang terjadi di atas, bahwa kejadian yang melibatkan kedua pasangan yang terlibat perselingkuh tersebut di antara pelakunya sudah berkeluarga yakni si pelaku wanita yang berprofesi sebagai PNS yang berinisial WL, kasus ini merupakan perseligkuhan yang dapat di jatuhkan sanksi melalui 2 hukum, yaitu hukum delik adat dan hukum positif (nasional) yang berupa hukuman dalam KUHP. Pelanggaran yang di lakukan jika dilihat menggunakan hukum positif maka dapat di jatuhkan pasal 284 KUHP mengenai tindak kejahatan susila, yang dapat di jatuhi hukuman penjara atau kurugan maksimal sembilan bulan, begitu juga kasus yang terjadi antara AS dan GS. Namun, jika di lihat menggunakan delik hukum adat pada masyarakat bali maka dapat di jatuhkan sanksi menggunakan awig-awig hukum adat di Bali dalam pasal 64 (Pawos 64) yang berisi mengenai hukum drati krama atau perzinaan maka dapat di kenakan hukumannya membiayai prosesi upacara yaitu :

  1. Upacara Tawur Kesanga (Tawur Bhuta Yadnya) kamargiang ring Desa Adat miwah ring soang paumahan Krama, nganutin sastra Agama majalaran Pasuara sakeng Parisada Hindu Dharma Indonesia.
  2. Upacara Kamariang ring tileming Kasanga kalaning sandyakala, kalanturang ngrupuk rawuh ka pakubon soang-soang.

Selain itu pelakunya di jatuhi juga konsekuensi tambahan di adat seperti :

  1. Hubungan perzinahan mereka dihentikan;
  2. Kedua pihak wajib melaksanakan prayscita (pensucian) desa dan prayscita (pensucian) raga;

Perbandingan yang dapat di lihat dari berlakunya kedua hukum tersebut adalah melalui perbedaan hukuman dan akibat yang ditimbulkan jika di berlakukannya hukuman tersebut kepada pelaku tersebut. Dalam hukum positif (nasional) hukuman berupa kurungan dan denda yang berakibat moril dan psikis yang di timbulkan terhadap para pelaku yang terjerat hukum dan sanksi. Dimana hukuman kurungan dan denda tersebut di harapkan memberikan efek jera terhadap para pelaku yang melakukan pelanggaran. Sementara itu, dalam delik hukum adat yang menggunakan awig-awig sebagai pasal yang digunakan untuk menjatuhi hukuman kepada para pelaku. Didalam hukum delik adat hukaman yang di timbulkan berakibat dikucilkannya atau menjadi gunjingan para pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut.

Dengan sanksi adat berupa pembiayaan upacara dan melakukan upacara penyujian diri dan penyucian desa agar para warga desa terhindar dari kesialan atau kutukan yang dipercaya datang dari roh leluhur mereka. Karena masyarakat adat bali yang percaya terhadap  adanya roh nenek moyang yang menjadi pembimbing dan pedoman hidup mereka. Selain adanya efek jera dan efek psikis dalam hukuman yang dilakukan oleh para pelaku, juga terdapat nilai moril dan edukasi yang terdapat dalam proses hukuman dan sanksi yang dikenakan terhadap para pelaku. Adanya Tri Hita Karana dalam adat Bali mengenai hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia menyebabkan adanya hukuman moril dan edukatif dalam adat Bali serta hukuman tidak berbentuk fisik, seperti adat Aceh yang menjatuhkan hukuman cambuk kepada pelaku zina di adat mereka. Dan sifat menyadarkan adalah yang utama dalam hukuman yang di jatuhkan dalam masyrakat adat Bali terutama dalam awig-awig sebagai pasal yang terdapat di delik hukum adat Bali.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?