GAds

Polemik Penyalahgunaan Fitur Custom Date pada Platform Website terhadap Hak Cipta

Hak Kekayaan Intelektual (HaKI/HKI). Istilah hukum yang mengemuka beberapa waktu belakangan. Tercatat beberapa peristiwa menarik perhatian publik untuk mengetahui tentang apa itu Hak Kekayaan Intelektual. Kasus Kekeyi dan Geprek Bensu merupakan contoh kasus yang menggemparkan masyarakat sekaligus memberikan kesadaran akan pentingnya Hak Kekayaan Intelektual. Ada beberapa jenis Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia meliputi Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Perlindungan Varietas Tanaman, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Hak Cipta merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual yang populer dan banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia selain Merek dan Paten. Terbukti istilah ini sering digunakan oleh masyarakat awam untuk “melindungi” karya yang mereka buat. Terlebih di zaman yang serba digital ini, didukung dengan hak kebebasan berekspresi, masyarakat dapat membuat konten-konten sosial media sebagai karya yang mereka ciptakan. Walaupun begitu, keberadaan Hak Cipta bukan tidak menimbulkan kontroversi. Munculnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang bertugas “menarik” royalti dari penggunaan lagu menuai pro kontra dari masyarakat karena di satu sisi melindungi hak pencipta namun di sisi lain mengekang kebebasan masyarakat khususnya pengusaha dan pekerja kreatif dalam menggunakan suatu ciptaan di ruang publik. (Republika, 2021)

Akhir-akhir ini, masyarakat dimanjakan dengan boomingnya media sosial berbasis konten seperti TikTok ataupun pemain lama Facebook dan Instagram. Konten-konten itu juga tak jarang berseliweran di media sosial berbasis tulisan singkat (cuitan) atau mikroblog seperti Twitter. Begitu juga platform berbasis video seperti YouTube dan Netflix yang semakin digemari. Dengan situasi yang diselimuti ancaman Covid-19 yang disebabkan oleh Virus Corona memaksa masyarakat lebih sering menghabiskan waktunya di kediaman masing-masing. Seiring dengan kondisi Kenormalan Baru ini, konsumsi konten multimedia menjadi semakin masif. Maka tidak heran jika banyak Content Creator bermunculan di platform-platform digital. (Rewang Rencang, 2020)

Hak Cipta sendiri secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Adapun undang-undang tersebut memberikan definisi tentang Hak Cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta juga diatur dalam undang-undang tersebut, yaitu setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. (Undang-Undang Hak Cipta, 2014)

Nah ada yang menarik dari definisi mengenai Hak Cipta ini, yaitu keberadaan prinsip deklaratif yang dianut oleh Hak Kekayaan Intelektual satu ini. Apa itu prinsip deklaratif? Prinsip deklaratif sendiri berasal dari kata dasar deklarasi atau mengumumkan. Artinya, suatu ciptaan tidak perlu dilakukan pencatatan atau pendaftaran (yang dalam hal ini didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia). Walaupun tidak dicatatkan atau didaftarkan, namun Hak Cipta seorang pencipta telah melekat pada ciptaannya dengan catatan (dan sejak) karya cipta tersebut telah diumumkan (dideklarasikan) kepada khalayak ramai. (Inda Nurdahniar, 2016)

Prinsip deklaratif yang berasaskan “First to Announce” merupakan kebalikan dari prinsip yang dianut oleh Hak Kekayaan Intelektual lain seperti Merek dan Paten yang menganut prinsip konstitutif dengan berasaskan “First to File”. Jenis Hak Kekayaan Intelektual dengan prinsip konstitutif mengharuskan pencatatan atau pendaftaran suatu karya intelektual agar mendapatkan hak dan perlindungan hukum. Tanpa syarat tersebut, walaupun karyanya telah dipublikasikan, namun tetap tidak akan mendapatkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini tentu dikecualikan bagi Merek Terkenal yang memiliki reputasi tinggi. (Sudjana, 2021) Hak Cipta sendiri bersama dengan Rahasia Dagang termasuk sebagai Hak Kekayaan Intelektual yang menganut prinsip deklaratif. Sedangkan Hak Kekayaan Intelektual lain seperti Hak Paten, Hak Merek, Indikasi Geografis, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Perlindungan Varietas Tanaman dalam perlindungannya menganut sistem konstitutif. (Universitas Indonesia, 2021)

Konten-konten digital yang beredar di internet sendiri dapat dikatakan termasuk dalam perlindungan rezim hukum Hak Cipta selain rezim hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) walaupun antara kebijakan dan implemetasinya masih abu-abu. (Tasya Safiranita Ramli, 2020) Konten pada website atau blog yang beredar di internet dan dapat diakses menggunakan peramban (Browser) menurut kajian mendalam yang dilakukan oleh Linda S.L. Lai dan W.M. To (2015) termasuk sebagai salah satu bentuk konten digital. Konten yang diproduksi pada platform website atau blog secara berkala baik berbentuk tulisan maupun multimedia sering disebut sebagai Post.

Dalam komponen suatu Post tidak hanya berisi judul dan substansi serta hal-hal yang dapat mendukung pemaparan suatu Post. Terdapat pula komponen lain seperti tagar (Hashtag) dan kategori yang berguna untuk menavigasikan atau mengelompokkan Post-Post dalam satu kategori tertentu. Khusus pada platform yang mainstream digunakan yaitu WordPress dan Blogspot, terdapat konfigurasi yang memungkinkan penulis mengatur tanggal publikasi. (Haris, 2000) Biasanya, fitur tersebut dimanfaatkan oleh penulis untuk melakukan penjadwalan (Scheduling) Post pada website atau blog. (Vamsi K. Kanuri, 2018)

Selain fungsi penjadwalan, juga terdapat kemungkinan masalah melalui fitur ini. Karena selain dapat menentukan waktu post kedepan, fitur ini juga dapat membuat kita menjelajah waktu secara mundur ke belakang. Hal inilah yang dapat memunculkan potensi sengketa Hak Cipta. Misalnya Website A telah membuat konten tentang makanan terlebih dahulu pada tahun 2022. Website B kemudian melakukan plagiasi dengan menyalin total konten makanan Website A lalu dipublikasikan di Website B tanpa perubahan. Website B mengubah tanggal publikasinya mundur ke tahun 2021 sehingga seolah-olah berdasarkan asas Hak Cipta yaitu “First to Announce” yang menganut sistem deklaratif, maka Website B dianggap memiliki Hak Cipta atas publikasi tersebut.

Selain potensi sengketa hak kekayaan intelektual, juga terdapat permasalahan berkaitan dengan indeksasi pada mesin pencari (Search Engine) yang menganggap website asli yang mereproduksi suatu konten melakukan plagiat terhadap website yang sebetulnya hanya menjiplak tanpa izin, mengingat mesin pencari pada umumnya mengambil informasi waktu publikasi dari yang tertera pada laman Post, bukan riwayat di balik layar platform. Akibatnya, mesin pencari dapat melakukan Take Down terhadap website asli yang dianggap plagiat. Hingga saat ini belum ada kasus yang demikan setidaknya di Indonesia. Namun dengan adanya fitur Custom Date tersebut, penulis melihat terdapat potensi masalah berkaitan dengan hak digital untuk membuat dan mempublikasikan konten.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?