Paralegal sendiri merupakan profesi hukum yang lebih banyak mengurusi masalah administrasi perkara. Sebenarnya jika digambarkan dengan sederhana, Paralegal sendiri merupakan profesi yang membantu pengacara. Namun bukan berarti Paralegal dapat beracara. Sehingga jika ditanya, bisakah paralegal menangani perkara? Jawabannya adalah bisa, namun selain perkara yang tidak memerlukan aktivitas beracara di pengadilan. Fungsi Paralegal sendiri mirip-mirip seperti Panitera di pengadilan yang membantu hakim. Maka sudah pasti ruang lingkup jobdesk Paralegal berkutat pada administrasi. Dalam konteks asisten pengacara, administrasi yang disiapkan adalah administrasi persidangan suatu perkara. Karena untuk memasukkan perkara dalam persidangan, terdapat syarat-syarat administrasi dan dokumen hukum yang harus dipenuhi. Inilah salah satu tugas dari Paralegal sebagai salah satu profesi hukum. Tapi sebenarnya bagaimana kiprah Paralegal dan apa jawaban sebenarnya dari “bisakah Paralegal menangani perkara?”
Pasang Surut Profesi Paralegal
Paralegal sebagai profesi hukum sendiri sebetulnya tidak pernah benar-benar surut. Yang ada, justru kebutuhan akan Paralegal semakin meningkat seiring dengan “perkembangbiakan” kantor pengacara (biasanya bernaung pada lawfirm/firma hukum) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Keinginan untuk menjadi Pengacara diantara para sarjana hukum memang seperti saham. “STONKS!“. Maka tidak heran, muncul banyak lawfirm dan LBH karena banyaknya lulusan hukum yang ingin jadi pengacara. Pengacara yang sudah mulai disibukkan dengan perkara-perkara tentunya akan kesulitan meng-handle administrasi kasus. Disinilah keberadaan Paralegal mulai dibutuhkan. Selain administrasi, Paralegal juga seringkali mendapatkan jobdesk menemui dan melayani klien untuk mengetahui kebutuhannya (konsultasi). Tidak heran juga jika Paralegal diberi tugas untuk menyelesaikan perkara yang bersifat non-litigasi seperti memediasi para klien.
Paralegal tidak memiliki kualifikasi khusus selain sebagai sarjana hukum. Bahkan bisa saja lawfirm atau LBH meminta kualifikasi mahasiswa hukum yang belum bertitel sarjana. Namun tentu saja terdapat persyaratan minimal seperti mata kuliah yang telah diambil dan sudah menempuh hingga semester tertentu. Biasanya kualifikasi seperti ini banyak dicari oleh LBH khususnya yang didirikan di bawah naungan kampus hukum. Di kampus admin misalnya, terdapat LBH yang disebut sebagai Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum. Biasanya terdapat rekrutmen bagi Paralegal yang diambil dari para mahasiswa. Persyaratannya minimal telah sampai semester 7 dan telah menempuh mata kuliah Hukum Acara. Untuk kontraprestasinya biasanya bukan berbentuk gaji namun sertifikat pengalaman kerja dan fasilitas kerja non-gaji. Sedangkan gaji Paralegal yang telah sarjana hukum biasanya menyesuaikan pendapatan lawfirm, tidak ada patokannya. Misalnya jika hanya mempekerjakan satu Paralegal, pengacara memberi nominal gaji setengah dari pendapatannya. Jika lebih dari satu, maka setengah itu dibagi jumlah Paralegal.
Kisah Kiprah vs. Kontroversi Paralegal
Kontribusi “Para-Legal”
Paralegal di Indonesia dinilai memiliki peranan yang penting khususnya dalam memberikan layanan hukum yang bersifat cuma-cuma. Alasannya adalah karena banyak sekali masyarakat menengah kebawah yang kesulitan mendapatkan akses layanan hukum secara profesional. Dalam istilah hukum, access to justice bagi si miskin seringkali disebut sebagai pro bono atau bantuan hukum. Nah, pengaturan mengenai Paralegal ini pertama kali ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Disitu disebutkan bahwasannya organisasi bantuan hukum (OBH) dapat melaksanakan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum. Kemudian untuk menunjang fitur bantuan hukum, OBH dapat menyelenggarakan pendidikan bantuan hukum bagi tenaga yang direkrut tersebut. Inilah asal mula penafsiran bahwasannya Paralegal juga dapat memberikan bantuan hukum (yang sebenarnya juga dapat diselenggarakan oleh Pengacara).
Menurut Erna Ratnaningsih, Paralegal dapat menutupi kesenjangan penegakan hukum yang adil di Indonesia untuk kelompok miskin, marginal dan kelompok rentan melalui pembelaan dan pendampingannya. Fungsi ini menjadi lebih efektif mengingat jumlah Pengacara yang terbatas dan tidak merata persebarannya. Biasanya dengan mempertimbangkan potensi dan prospek, konsentrasi Pengacara terpusat di kota-kota besar. Sedangkan masalah hukum tidak jarang ditemukan di daerah pelosok. Disinilah profesi Paralegal memainkan perannya. Kementerian Hukum dan HAM menilai bahwa walaupun Pengacara dapat memberikan bantuan hukum, namun layanan pro bono itu justru kurang efektif. Disinilah titik pangkal perseteruan peran Paralegal, ketika Kemenkumham meluncurkan Permenkumham Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Bagaikan suatu matahari harapan yang menyejukkan bagi para pencari keadilan di Indonesia. Tahun 2018 itu, Permenkumham bernomor “1” mencerminkan prioritas tinggi Kemenkumham terhadap formalitas peran Paralegal. Seakan, terdapat curahan amanah langsung kepada “para Paralegal” untuk mengemban penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu.
Kontranya “Para-Pengacara”
Namun ternyata, munculnya Permenkumham tersebut justru menjadi petir di siang bolong bagi kalangan Pengacara. Pengacara seakan mendapat saat yang tepat untuk “mengontrol” Paralegal. Paralegal yang selama ini “dibiarkan”, ketika kewenangan pemberian hukum oleh Paralegal ditegaskan dan diformalkan melalui Permenkumham justru menjadi kesempatan besar untuk mengebiri kiprah Paralegal sebagai penjembatan keadilan bagi masyarakat kurang mampu. Motifnya utamanya, apalagi jika “para Pengacara” itu merasa tersaingi oleh kehadiran “para Paralegal” di dunia layanan hukum. Beberapa Pengacara lalu mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Permenkumham tersebut kepada Mahkamah Agung. Beberapa alasan mengapa Paralegal dianggap seharusnya tidak memiliki peran itu karena Paralegal tidak memiliki kode etik sehingga dipertanyakan integritasnya. Selain itu dengan “mudahnya” menjadi Paralegal tanpa perlu pendidikan tingkat lanjut seperti Pengacara, dikhawatirkan mengurangi kualitas pendampingan hukum kepada masyarakat. Sebagai tambahan, adanya peran Paralegal pada proses litigasi tidak jelas dan tidak konkrit serta dianggap bertabrakan dengan peran Pengacara.
Mahkamah Agung kemudian memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Sehingga pada intinya, Paralegal tidak dapat lagi memberi pendampingan untuk proses litigasi. Mahkamah Agung berpijak pada Undang-Undang Advokat. Serta terdapat argumentasi apabila Paralegal dapat memiliki kewenangan yang serupa dengan Pengacara, lalu apa bedanya? Padahal jalan masuk untuk menjadi Pengacara dan Paralegal jelas berbeda (alias menjadi Paralegal lebih mudah dan murah). Paralegal juga bukanlah jenjang atau syarat kewajiban untuk menjadi Pengacara. Sehingga berpijak pada pikiran itu, Paralegal saat ini tidak lagi dapat memegang kasus yang bersifat litigasi. Putusan yang menurut Peradi disebut sebagai “Putusan Hebat“. Sedangkan di sisi lain disebut “Putusan yang Menyakitkan” oleh PSHK. Putusan ini juga dikritik oleh YLBHI dkk. sebagai “langkah mundur aturan pokrol bambu”. Mereka menyarankan konkritisasi peran Paralegal melalui revisi aturan, agar “berbeda” dengan peran Pengacara. Melalui uraian ini, kita bisa mengintip lebih jelas jawaban pertanyaan “Bisakah Paralegal Menangani Perkara?”. Bisa, namun terbatas hanya pada ranah non-litigasi
Pergulatan dan Kontemplasi Batin: Antara Perasaan atau Aturan
Dari “Kisah Kasih” diatas, sudah terlihat bahwa akan selalu ada pergulatan batin antara perasaan (penyebab baper) dengan kewajiban aturan. Pengebirian terhadap kewenangan Paralegal untuk melakukan layanan bantuan hukum sungguh disayangkan. Padahal, masyarakat bisa jadi sudah “nyaman” dengan layanan yang ditawarkan. Dimana mengingat Pengacara hingga saat ini masih dinilai belum sungguh-sungguh dan belum berkomitmen terhadap penyelenggaraan layanan pro bono. Jangan naif dan munafik! Seorang lulusan hukum yang ingin menjadi Pengacara sedikit banyak akan terinspirasi pada Hotman Paris dan Pengacara termahsyur yang bergelimang harta lainnya. Jika ada Pengacara yang berkata “kami menjadi Pengacara untuk mengabdi”, maka dirikanlah LBH jangan Lawfirm! Dan tentu saja ekspektasi dari mengasah kemampuan hukum adalah untuk mendapat kasus-kasus keren dari klien besar. Yang siap membayar biaya beracara berapapun harganya asal menang, atau setidaknya mendapat pelayanan profesional dan premium.
Sedangkan layanan seperti itu belum dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat kurang mampu. Hal ini karena terbatasnya biaya beracara yang digelontorkan pemerintah untuk kasus pro bono. Akan tetapi bagi beberapa Pengacara pemula, kasus pro bono tentu menjadi lahan basah dan batu loncatan. Atau bagi yang sedang melesat, dana pro bono bisa digunakan untuk tambahan pendapatan. Maka tidak heran, kehadiran Paralegal membuat Pengacara merasa tersaingi untuk memperebutkan lahan basah bernama “pro bono” itu. Sehingga “tega” mengajukan uji materi yang berbuntut pengkerdilan terhadap peran Paralegal yang dianggap menjadi matahari harapan bagi para pencari keadilan yang kurang secara materi. Namun harapan itu telah menjadi bubur. Tentu kita harus menghormati “luaran” proses hukum itu, walaupun seperti kata PSHK, menyakitkan. Maka kami berharap LBH dapat lebih proaktif menyalurkan Paralegal-nya ke daerah yang kurang terjamah (dan tentunya harapan ini untuk Lawfirm juga, ah suatu sindiran).
Lalu jika masih bertanya, bisakah Paralegal menangani perkara? Tentu saja, masih bisa kok. 🙂
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Civitas Akademika ilmu hukum yang terfokus di bidang Hukum Bisnis, Hukum Ekonomi dan Hukum Teknologi.
Comment (1)
Bur 28 June 2021 at 7:30 pm
Dalam memberikan advokasi masyarakat paralegal juga harus komunikatif dan berusaha menjaga jangan timbul kesan arogan dan menggurui sebab kehadirannya dibutuhkan.