Oleh Mohamad Rifan
tulisan ini sebelumnya pernah dipublis melalui kompasiana pada tanggal 8 maret 2018.
Seringkali saya lebih suka membaca komentar pada postingan akun instagram daripada mention dan gambarnya, ya ini karena isu-isu gosipable lebih padat disana. Apalagi komentar bentuk protes terhadap kinerja pejabat negeri. Walau mereka tau pejabat tersebut memiliki peran penting dalam proses pembangunan hukum. menurut saya mereka (Warganet) berani, karena tak takut akan ancaman hukum dari hasil buah driji mereka di atas layar Hp.
Terkadang, sorakan di kolom Commentsering muncul pada aplikasi OA LINE yang diserukan oleh oknum dengan Photo Profilebergambar Spongebob “dewan kita banyak yang korupsi.”Atau “inilah Hukum di Indonesia.”
Tidak jarang kritik-kritik demikian kadang disambi video 1 menit dengan backsound lagu “religi” atau “EDM” diserukan oleh masyarakat terhadap perangkat pembuat atau penegak hukum sebagai bukti kesadaran Mereka (karena menurut saya mayoritas mahasiswa hingga dewasa) terhadap kelemahan berhukum di Indoenesia, atau setidaknya ikut menagih #like-status-saya-gan #likeforlike #viralkan.
Menurut saya, hal demikian merupakan dampak dari menjamurnya stigma negatif dimasyarakat bahwa praktek korupsi pada proses berhukum seperti trading in influence, political capture / interferencedan regulatory capturemerupakan hal yang lumrah. Apabila mengambil frasa demo aktivis, tak jarang mahasiswa mengamini sorakkan dengan kata “Hal demikianlah yang membuat nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat sering terabaikan!”
Diluar dari pemahaman cerita La Guardia bahwa nilai-nilai kebenaran hukum cenderung berbeda dari pandangan moral masyarakat. Karena bak Hukum maupun masyarakat cenderung memilliki nilai kebenarannya masing-masing. Maka tak jarang kita mendengar kata-kata eksentrik netizen maupun perangkat negara yang protes berasas #FeelingSayaIniSalah.
Justru karena kebiasaan buruk pada proses perumusan hukum demikian berpotensi memanipulasi nilai-nilai kebenaran hukum yang lebih jauh dari nilai-nilai kebenaran masyarakat maupun perangkat negara. Yang terjadi adalah menunggu pernyataan dari Hukum yang tidak berjiwa-raga berkomentar #FeelingkuAkuSalah.Ya bisa dikatakan Produk Hukum mengalami ke-vakum-an.
Walau hal-hal diatas merupakan ruang kajian yang baik bagi para sarjana Hukum guna menyelami pola pemikiran tindakan Immoraldari pejabat Negara. Sehingga mucul ide-ide guna diadvokasikan atau disuduhkan sebagai referensi kebijakan.
Nyatanya baik seorang sarjana hukum yang terpaksa menambang pemahaman berhukum selama 4 tahun dalam universitas, maupun pihak yang berwenang dalam proses Berhukum belum tentu paham berbagai kajian hukum sebagai perangkat nilai ideal yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum.
Kondisi demikianlah mengakibatkan banyak ide-ide yang hanya dipaparkan dalam suatu Forum Group Disscussionkecil-kecilan.
Hemat saya, memandang masyarakat yang diberikan akses untuk berhukum (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) idealnya adalah masyarakat yang sudah paham hukum.
Atau setidaknya memahami dan memandang bahwa hukum itu sebagai kenyataan. Kenyataan sosial kah, kenyataan ilmu kah, kenyataan kultur kah, atau kenyataan hidup bahwa berhukum butuh sekian lembar kertas merah berfoto pak soekarno.
Opini protes di kolom komentar juga sering menjadi picisan pereda jenuh, pemantik senda gurau, dan ajang advertisingOL Shop yang di-imami oleh masyarakat kita dengan sejumlah Viewers, Likes dan Comment serta penggunaan hastag # yang cenderung beroposisi dengan dokumentasi kinerja pemerintah (misal banyaknya komen negatif di akun instagram @dpr_ri). Ya karena hal demikian lebih mudah daripada berusaha melek literasi, membaca narasi, melakukan komparasi, sehingga postingan cenderung diapresiasi.