oleh Ivan Drago, S.H
Tidak usah mencuri, cukup dengan merugikan negara anda bisa terjerat pasal korupsi.
Tahukah anda? Korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio yang berarti busuk. Ya, begitu pula-lah mereka para koruptor. Busuk! Pelaku Korupsi dapat diumpamakan seperti pengguna produk ekstrak kulit manggis, sama-sama bertujuan untuk memanipulasi. Bedanya, pelaku korupsi berniat memanipulasi keluar masuknya uang negara, sementara pengguna produk ekstrak kulit manggis bertujuan memanipulasi penuaan. Namun perlu dicermati! Dari perbedaan itu, tidak menutup kemungkinan Korupsi dan Ekstrak Kulit Manggis digunakan oleh pengguna yang sama.
Korupsi memang perbuatan yang busuk, merusak mental bangsa, dan merugikan negara. Namun bukan berarti semua yang merugikan negara sudah pasti busuk, dan dapat dituduh sebagai koruptor. Tidak tepat, jika pejabat dan aparat sipil negara menjadi tersangka korupsi, hanya karena salah mengambil keputusan sehingga menyebabkan kerugian negara. Dalam konteks korupsi, setiap orang yang mencuri uang negara harus didasarkan niat, tidak semata-mata karena merugikan negara. Sebab jika merugikan negara saja sudah bisa disangka, maka setiap orang, khususnya pejabat negara, akan takut untuk mengeluarkan kebijakan. Naasnya, di era ini (Pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016), semua orang yang merugikan negara dapat disangka koruptor .
Akibat Hukum Pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016
Pasca Putusan MK keluar, kata “dapat” dalam pengertian tindak pidana korupsi telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum, alias dicabut.
Pengertian Korupsi (UU Nomor 30 Tahun 1999)
sebelum putusan MK,
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 dan paling banyak Rp.1.000.000.000.00.”
Setelah Putusan MK,
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 dan paling banyak Rp.1.000.000.000.00.”
Dihilangkannya kata “dapat” dalam pengertian korupsi, memang nampak sepele. Namun ketiadaan satu kata ini, telah merubah makna korupsi secara keseluruhan. Sebelumnya, Korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana formiil, sehingga setiap orang dapat dipidana ketika ia melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/ orang lain/ korporasi dengan menggunakan uang negara.
Ada atau tidaknya kerugian negara bukanlah syarat mutlak. Sebab dalam tindak pidana formiil, beban pembuktian dititikberatkan pada terjadinya perbuatan yang dilarang, bukan pada akibat. Karena itu, asal pelaku melakukan perbuatan memperkaya diri dengan uang negara, sudah pasti ia dapat dijerat pasal korupsi. Tanpa perlu lagi dibuktikan, ada tidaknya kerugian negara sebagai suatu akibat.
Namun pasca kata “dapat” dihilangkan, maka korupsi tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana formiil, melainkan tindak pidana materiil. Dalam tindak pidana materiil, beban pembuktian dititikberatkan pada akibat yang dilanggar, bukan pada perbuatannya. Karena itu, unsur kerugian negara menjadi syarat kumulatif yang mutlak harus dipenuhi dalam rumusan tindak pidana korupsi. Karena itu seorang pejabat atau aparat sipil negara dapat menjadi tersangka korupsi hanya karena indikasi kerugian negara, tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu niat mencurinya.
Celah Hukum Bagi Oknum KPK dan Koruptor Nakal
Mengingat fokus utama pembuktian korupsi ada pada akibat yang ditimbulkan. Maka khusus dalam tindak pidana korupsi, setiap orang yang merugikan negara dapat dipenjara, tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya mens rea (niat pelaku) yang terkandung dalam perbuatan yang dituduhkan padanya. Cukup dengan actus reus (keahatan yang dilakukan) yang telah terbukti, maka seseorang sudah dapat dipidana. Sebab sengaja atau tidak sengaja ia merugikan negara, perbuatannya tetap memenuhi unsur korupsi, dan unsur merugikan negara, kini telah menjadi syarat mutlak yang harus dibuktikan sehingga terdakwa korupsi dapat dinyatakan sebagai terpidana.
Namun, ketentuan baru ini juga menjadi kabar gembira bagi para koruptor, sebab dengan terpusatnya rumusan korupsi pada unsur kerugian negara, maka cukup dengan mengembalikan uang negara, siapapun koruptornya akan lepas dari jeratan hukum. Dengan mengembalikan uang hasil korupsi itu, maka kerugian negara akan otomatis hapus, dan secara mutatis mutandis perbuatan pelaku tidak lagi memenuhi unsur korupsi.
Sehingga jika dikembalikan pada tahap penyidikan, maka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) harus segera dikeluarkan, sebab sudah tidak ada lagi alat bukti yang mampu membuktikan bahwa perbuatan pelaku telah menyebabkan kerugian negara. Jika dikembalikan pada saat persidangan maka, terdakwa haruslah diputus bebas dari segala tuntutan hukum, karena perbuatan yang dilakukan tidak lagi memenuhi rumusan tindak pidana korupsi. Karena itu, “Hai para koruptor, segeralah kembalikan uang negara yang anda curi, sebelum putusan pengadilan keluar!”.
Judicial Review ke MK Bukan Lagi Jalan, Pemerintah Harus Turun Tangan
Adanya ketentuan baru mengenai korupsi ini, malah menjadi kesempatan bagi oknum penegak hukum dan para koruptor nakal untuk memanfaatkan celah hukum yang timbul. Kepentingan untuk merubah ketentuan pasal ini sangatlah diperlukan. Namun Judicial Review ke MK tak lagi merupakan jalan, bukan karena perkaranya sudah nebis in idem, atau sudah pernah diajukan. Melainkan, karena MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji norma yang ada dalam putusan, terlebih pada putusan yang dikeluarkan oleh lembaganya sendiri. MK hanya memiliki kewenangan untuk melakukan Judicial Review atas Norma yang terkandung dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar.
Mencabut berlakunya norma melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Undang-Undang, merupakan satu-satunya jalan. Sebab, untuk mengganti atau mencabut berlakunya norma “Korupsi” yang ada pada Undang-Undang, harus dilakukan dengan cara menerbitkan Undang-Undang yang baru, atau produk hukum lain yang sederajat dengan Undang-Undang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Pemerintah dan DPR harus segera menempuh upaya untuk mengganti pasal korupsi yang penuh celah ini. Dan rasa-rasanya isu untuk menyematkan ketentuan “Korupsi” kedalam KUHP yang baru, akan nampak lebih tepat dilakukan, daripada harus lama menunggu untuk menyusun Undang-Undang Korupsi yang baru. Sebab yang terpenting kini, bukan lagi berdiplomasi, melainkan penanganan yang cepat dan efisien untuk merekonstruksi makna korupsi.