Kasus Pelanggaran Hak Cipta oleh Mie Gacoan
Mie Gacoan, jaringan kuliner yang merajai kalangan anak muda dengan harga terjangkau dan branding yang kuat, kini tengah disorot bukan karena menunya, melainkan karena musik latar di gerai-gerainya. Siapa sangka, sekadar memutar lagu bisa membawa seorang direktur perusahaan ke status tersangka pelanggaran hak cipta?
Awal Mula Kasus: Lagu Diputar, Royalti Tak Dibayar
Masalah ini bermula dari outlet Mie Gacoan di Bali, yang menurut laporan dari Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), memutar musik secara komersial tanpa izin dan tanpa membayar royalti kepada pencipta lagu. Ini bukan pelanggaran sepele.
Di Indonesia, penggunaan karya musik di ruang publik atau ruang komersial diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 9 ayat (2) yang menyebut bahwa eksploitasi ekonomi dari hak cipta termasuk pemutaran musik harus melalui izin dari pemegang hak atau melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti SELMI yang terdaftar di bawah koordinasi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
SELMI menyatakan bahwa mereka telah memberikan peringatan kepada pihak Mie Gacoan Bali sejak tahun 2022, namun tidak ada tanggapan ataupun penyelesaian izin yang sah. Akibatnya, kasus ini dilaporkan secara resmi ke Polda Bali pada Agustus 2024.
Penetapan Tersangka dan Dasar Hukumnya
Pada 24 Juni 2025, I Gusti Ayu Sasih Ira, selaku Direktur PT Mitra Bali Sukses (pemegang lisensi Gacoan di Bali), ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran hak cipta. Ia dikenakan dugaan pelanggaran Pasal 117 dan/atau Pasal 118 UU Hak Cipta:
Pasal 117: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi atas suatu ciptaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Penetapan tersangka ini membuka lembaran penting dalam penegakan hukum hak kekayaan intelektual di sektor hospitality dan retail. Karena musik tidak sekadar estetika atau pelengkap suasana, melainkan bagian dari ekonomi kreatif yang dilindungi hukum.
Royalti Musik: Bagaimana Cara Menghitungnya?
Royalti untuk pemutaran musik di tempat usaha seperti restoran dihitung berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh LMKN. Dalam kasus ini, perhitungannya menggunakan rumus sederhana:
Jumlah kursi × Tarif per kursi × Durasi waktu pemakaian
Misalnya, satu outlet dengan 100 kursi yang memutar musik selama setahun bisa dikenakan royalti sebesar:
100 × Rp120.000 × 1 tahun = Rp12.000.000 per outlet per tahun
Bayangkan jika pelanggaran ini terjadi di banyak outlet, dan berlangsung lebih dari dua tahun potensi kerugian ekonomi bagi pencipta lagu bisa mencapai miliaran rupiah.
Analisis Hukum: Mengapa Ini Penting?
Kasus ini menjadi momentum penting untuk menegaskan posisi hukum hak cipta sebagai bagian integral dari sistem perlindungan kekayaan intelektual. Ada beberapa poin penting:
- Musik adalah aset ekonomi. Pemutaran tanpa izin sama saja seperti menggunakan properti orang lain tanpa membayar sewa.
- Pelaku usaha wajib tahu hukum. Ketidaktahuan atas kewajiban membayar royalti bukan alasan yang bisa membebaskan dari tanggung jawab pidana. Dalam hukum dikenal adanya asas fiksi hukum yang menyatakan bahwa semua orang dianggap tahu hukum.
- Tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana Indonesia semakin ditegakkan. Dalam UU Hak Cipta, perusahaan bisa dimintai pertanggungjawaban, dan pengurus (direksi) dapat dijerat secara pribadi.
- Kasus ini dapat menjadi peringatan bagi sektor F&B dan hospitality lainnya, bahwa era “cuek soal musik” sudah lewat. Pengusaha harus paham terkait segala legalitas yang bersangkutan dengan usahanya.
Reaksi Publik dan Dukungan LMKN
Kasus ini mendapat dukungan dari LMKN yang menegaskan bahwa pemilik usaha telah lama diingatkan. LMKN berharap laporan ini bisa menjadi pembelajaran kolektif, dan mendorong pelaku usaha untuk segera mengurus izin penggunaan musik komersial secara sah dan adil.
Di sisi lain, publik juga mulai membuka mata soal betapa pentingnya menghargai karya cipta, tidak hanya bagi pencipta lagu ternama, tetapi juga bagi ribuan musisi lokal yang menggantungkan hidup dari royalti.
Penutup: Ketika “Background Music” Jadi Isu Serius
Apa yang tampak sepele seperti musik latar di restoran ternyata bisa membawa konsekuensi hukum yang besar jika tidak dikelola dengan baik. Kasus Mie Gacoan adalah pengingat bahwa di era ekonomi digital dan kreatif, menghargai karya orang lain bukan sekadar etika, tapi kewajiban hukum.
Untuk pelaku usaha jangan tunggu ditegur apalagi dilaporkan. Urus izin, bayar royalti, dan jadilah bagian dari ekosistem yang mendukung seniman dan pencipta karya. Jika dari penjelasan tersebut kamu masih bingung terkait Hak Cipta, pembayaran royalti dan sebagainya langsung saja konsultasikan di Klinik Hukum Rewang-Rencang secara gratis.
