Permasalahan Penerapan Perjanjian Baku
Permasalahan dalam perjanjian baku definisi seperti yang kita ketahui merupakan perjanjian dimana setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[1] Perjanjian baku dapat tejadi karena tidak adanya pihak yang mampu menyeimbangkan posisi tawar diantara pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian baku sering disebut dengan perjanjian atas dasar paksaan karena konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian baku tersebut (take it or leave it).[2]
Penjelasan tersebut dalam prakteknya menimbulkan beberapa permasalahan. Diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Menurut Hondius, E.H yang menyatakan bahwa pemberlakuan perjanjian baku merupakan wujud pelanggaran terhadap asas kebebasan berkontrak.[3] Beberapa ahli juga mengungkapkan bahwa perjanjian baku bukan merupakan bagian dari perjanjian. Salah satu pendapat yang terkenal adalah pendapat dari Sluijter (1972) yang menyatakan bahwa perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Pernyataan terebut didukung oleh pendapat Pitlo yang menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).[4] Selain itu, Gunawan juga berpendapat bahwa salah satu hal yang menonjol dalam perjanjian baku adalah terjadinya penekanan secara sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku cenderung menjadi perjanjian yang berat sebelah atau perjanjian sepihak, dengan kata lain transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance.
Keadaan tidak balance ini umumnya menyebabkan kedudukan yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Hal tersebut yang dikhawatirkan bahwa pihak yang kuat menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausa-klausa tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Dari beberapa permasalahan yang telah dipaparkan diatas terkait berlakunya perjanjian baku tetapi pada kenyataannya perjanjian baku tetap banyak diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Sluijter, (1972) mencoba memecahkan masalah yang ada dalam perjanjian baku dari sudut pandang sosial dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (jictie van wi! en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Di lain pihak Asser Rutten (1968) mengatakan bahwa “Setiap orang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya”. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani.[5]
Dilihat dari sudut pandang yuridis berlakunya perjanjian baku adalah wujud penerapan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), telah mengatur larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila berisi tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 18), akan tetapi dalam kenyataannya masih sering dijumpai adanya pencantuman klausula baku yang memuat klausula eksemsi. Perjanjian baku pada dasarnya boleh dipergunakan asal dalam perjanjian baku tersebut tidak mengandung klausula eksonerasi, karena klausula eksonerasi dalam perjanjian baku sangat memberatkan salah satu pihak, khususnya pihak konsumen.[6]
Belakangan ini terdapat syarat-syarat baku dalam kontrak dihampir semua bidang termasuk syarat-syarat umum perbankan. Pada perjanjian baku dalam perjanjian kredit menempatkan bank pada posisi yang kuat terutama memiliki kewenangan mengubah, mengurangi dan menghentikan fasilitas kredit dan diberikan kepada nasabah sewaktu-waktu hanya berdasarkan pertimbangan yang dianggap baik oleh bank semata tanpa nasabah dapat menahannya.[1]
Remy Syahdeni mengatakan bahwa perjanjian adalah yang hampir seluruh kalusul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan yang dibakukan adalah beberapa hal saja misalnya menyangkut jenis harga jumlah warna tempat waktu dan beberapa hal lainnya yang bersifat spesifik dari objek perjanjian saat hampir semua perjanjian kredit antara pihak bank dan dengan debitur dibuat daam bentuk baku sebagaimana telah ditentukan sebelumnya oleh bank. dengan demikian kotrak antar bank dengan debiturnya disusun secara sepihak oleh bank.
[1] Masfiati, 2003, Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank dan Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Thesis Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Hlm.77.
[1] Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[2] Heniyatun, Aspek perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian baku Aspects of consumer protection law in baku agreement, Jurnal Ilmiah, 2008. Hlm.1.
[3] Made Suryana dan Rina Suwasti. Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Perjanjian Baku. Jurnal Ilmiah. 2009. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram. Hlm.22.
[4] Ibid, Hlm.23.
[5] Made Suryana dan Rina Suwasti. Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Perjanjian Baku. Jurnal Ilmiah. 2009. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram. Hlm.23.
[6] Heniyatun, Aspek perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian baku Aspects of consumer protection law in baku agreement, Jurnal Ilmiah, 2008, Hlm.3.
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya