GAds

Pengertian Perjanjian Baku dan Klausula Eksonerasi

Menurut para ahli dan undang-undang :

  1. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar atau baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[1]
  2. Sutan Remi jahdeni mengartikan perjanjian standar atau baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.[2]
  3. Asser Rutten mengatakan pula bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku atau standar, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.[3]
  4. Sedangkan dalam undang-undang sendiri pengertian perjanjian baku atau standar seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal tersebut menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga yang menyebutkan bahwa kontrak standar atau baku itu dikatakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang telah ditentukan secara baku standar serta dituangkan secara tertulis.[4]
  5. H. Hondius mendefinisikan perjanjian standar atau baku adalah konsep-konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa membedakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu.[5]

Dari uraian pendapat para ahli dan uu dapat disimpulkan bahwa hakikat perjanjian baku atau standar adalah perjanjian yang telah standar isinya, konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya, dimana standar isinya ini dibuat oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur atau  konsumen menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu diangap tidak ada karena debitur atau konsumen tidak menandatangani perjanjian tersebut.

Istilah standar berarti baku, sesuatu yang dipakai secara patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuran patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti yang tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan demikian perjanjian standar mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian baku.[6]

Perjanjian baku atau standar dalam praktek dikenal  dengan adanya berbagai sebutan untuk jenis perjanjian atau kontrak misalnya di Perancis digunakan Contract d’adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda standard contract atau standard voorwaarden. Kepustakaan jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan Standard contract.[7]

Tujuan dibuatnya perjanjian standar adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Pada saat sekarang sangatlah tidak mungkin bagi kreditur untuk membuat perjanjian dengan debitur satu persatu, karena jumlah debitur sangatlah banyak, jika harus membuat satu persatu perjanjiannya akan menyita banyak waktu, tenaga dan biaya.

Perjanjian standar  atau  baku, sebenarnya dikenal sejak zamanYunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen atau penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun semakin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law a Review pada 1971 bahwa 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar.[8]

Adapun jenis-jenis dari perjanjian standar atau baku terdiri dari tiga jenis, yaitu :

  1. Perjanjian Baku Sepihak

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu, terutama kedudukan ekonominya.[9] Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

  1. Perjanjian Baku yang Ditetapkan oleh Pemerintah

Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan lain sebagainya.

  1. Perjanjian Baku yang Ditentukan di Lingkungan Notaris atau Advokat

Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “Contact model”. Dengan kata lain suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.

Adapun dalam perjanjian baku terdapat dua jenis klausula, yaitu klausula baku dan klausula eksonerasi.

  1. Klausula Baku

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul klausulnya di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.[10] Sebagai contoh, klausula baku yang sangat merugikan adalah dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT Verena Multi Finance Tbk. dengan debiturnya, dalam Pasal 10 ditentukan :

Semua piutang kreditur tehadap debitur berdasarkan perjanjian ini dan perjanjian lainnya diantara debitur dan kreditur dapat dialihkan oleh kreditur kepada pihak lain siapapun adanya dan debitur dengan ini memberikan persetujuan dimuka atas pengalihan tersebut, tanpa diperlukan suatu pemberitahuan resmi atau dalam bentuk atau cara lain apapun juga. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka seluruh hak kreditur yang timbul karena perjanjian ini beralih secara mutlak kepada pihak yang menerima pengalihan dimaksud tanpa kecuali apapun.

  1. Klausula Eksonerasi

Klausula Eksonerasi (Exemption Clause) adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk (penjual).[11] Contoh kasus : Bagaimana jika motor hilang di tempat parkir, siapa yang bertanggung jawab?

Kehilangan kendaraan di lokasi parkir pasti tidak diinginkan pemiliknya. Dalam praktik, memang umum ditemui pengelola parkir yang memasang tulisan ”kehilangan barang bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir” di lokasi parkir sebagai bentuk pengalihan tanggung jawabnya atas kendaraan yang hilang atau barang yang hilang dalam kendaraan.

[1] Mariam Darus Badrulzaman dalam Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo. Jakarta. 2000, hlm.119.

[2] Sutan Remi Sjahdeni dalam Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.199-120.

[3] Amrul Partomuan Pohan, Penggunaan Kontrak Baku (Standard Contract) Dalam Praktek Bisnis di Indonesia, Dimuat dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994

[4] Ahmad Miru&Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.108.

[5] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. 1994, hlm.47.

[6] Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrick, Hukum Perdata II, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-Undang, Penerbit Fakultas Hukum UNDIP, hlm.48.

[7] Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.145.

[8] Made Suryana dan Rina Suwasti. Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Perjanjian Baku.  Jurnal Ilmiah. 2009. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram. Hlm.22.

[9] Op.Cit, hlm.146.

[10] Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.139.

[11] Ibid, hlm.141.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?