GAds

Riwayat Pembahasan RUU PKS

Riwayat Pembahasan RUU PKS

Belakangan ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali ramai menjadi bahan perbincangan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya wacana dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menarik RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020. lebih lanjut, usulan tersebut diketahui berasal dari Komisi VIII DPR yang merasa bahwa RUU ini telah mengalami stagnasi sehingga sulit untuk diselesaikan dalam waktu dekat.

Fitri Haryani selaku Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, mengecam tindakan wakil rayat tersebut dan mengungkapkan kekecewaanya secara mendalam. Sebab, selain substansi RUU PKS yang bisa menjadi jawaban atas dampak kekerasan seksual saat ini, secara historikal RUU PKS juga memiliki riwayat pembahasan yang sangat panjang.

Bagaimanakah Riwayat Pembahasan RUU PKS selama ini?

Pada dasarnya penyusunan RUU PKS telah diperjuangkan oleh aktivis sejak satu dekade yang lalu. Hal itu dimulai dengan analisa data terhadap kasus yang ada pada Komnas Perempuan di tahun 2001 hingga 2010, yang kemudian pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL), LBH APIK Jakarta dan akademisi serta pakar hukum menyusun draft naskah akademik RUU ini.

Pada tahun 2016, Komnas Perempuan dan FPL telah menyusun dan menyerahkan RUU ini kepada pimpinan DPR. Kemudian pada 20 Juni 2016, dengan segala pertimbangan DPR menyetujui bahwa RUU PKS layak untuk menjadi Prolegnas Prioritas tahun 2016.

Pada tahun 2017 angin segar berhembus,  Puan Maharani selaku Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang menjabat pada waktu itu mengatakan bahwa RUU PKS seharusnya segera disahkan. Namun, hingga tahun 2018 RUU ini tidak kunjung dibahas dan disahkan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mengkritik kinerja DPR saat itu, kususnya setelah kasus Baiq Nuril yang diperkarakan karena merekam percakapan pelaku pelecehan seksual.

Pada tahun 2018, dikarenakan tahun tersebut adalah tahun pra Pemilu, banyak pihak yang berbondong-bondong mengaku akan memperjuangkan RUU PKS, salah satunya adalahYohana Yembise yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) yang menyatakan bahwa pihaknya siap mendukung penuh dan memperjuangkan RUU PKS agar segera disahkan.

Pada awal tahun 2019, pembahasan RUU PKS mengalami stagnasi. Alih-alih disahkan, RUU ini justru mengalami penolakan melalui petisi yang disiasati oleh Maimon Herawati yang membuat petisi penolakan RUU PKS dengan judul “TOLAK RUU Pro Zina” melalui change.org pada awal tahun 2019. Diketahui bahwa alasan utama penolakan Maimon atas RUU ini adalah karena Maimon merasa keberatan dengan substansi RUU PKS yang menurutnya memperbolehkan hubungan seksual suka sama suka dan mengakomodasi pengaturan aborsi secara sukarela.

Pada 1 Febuari 2019, penolakan terhadap RUU PKS mulai muncul di internal DPR. Pada saat itu, Fraksi PKS menolak keras pengesahan RUU ini dengan alasan bahwa saran perubahan yang mereka berikan tidak terakomodasi. Sehingga RUU ini cenderung bernuansa liberal dan bertentangan dengan Pancasila, agama, dan adat ketimuran, yang berpotensi membuka ruang untuk berkembangnya budaya seks bebas.

Pada 13 Febuari 2019 dikarenakan berakhirnya masa persidangan III DPR tahun 2018-2019, maka RUU PKS mendapatkan perpanjangan waktu dalam pembahasannya. Berkaitan dengan ity, Wakil Ketua Komisi VIII yang berasal dari Fraksi PKB Marwan Dasopang menyatakan bahwa pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang tidak dapat dilaksanakan dalam waktu dekat, dikarenakan harus menunggu pengesahan RUU KUHP terlebih dahulu. Hal itu disebabkan bahwa menurutnya RUU PKS merupakan anakan dari RUU KUHP sehingga harus selaras dan saling melengkapi.

Pada 25 September 2019, Pemertintah bersama Komisi VII DPR menyepakati pembentukan Tim Perumus RUU PKS. Namun, Tim tersebut baru akan bekerja pada periode 2019-2024. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa RUU PKS gagal disahkan oleh DPR yang menjabat pada perioe 2015-2019.

Pada 1 Oktober 2019, parlemen dan eksekutif yang menjabat pada periode 2019-2024 dilantik.  Kemudian, DPR melalui Badan Legislasi memutuskan bahwa akan melanjutkan pembahasan terhadap RUU PKS atau carry over. Kemudian, pada 17 Desember tahun 2020 DPR dan Pemerintah menyepakati 50 RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020, yang salah satunya adalah RUU PKS.

Pada tahun 2020, tidak ada progres yang signifikan terkait pembahasan RUU PKS. Sekali lagi, alih-alih RUU ini diselesaikan dan disahkan RUU ini justru menjadi salah satu RUU yang mendapatkan evaluasi dari Badan Legislatif DPR untuk ditarik dari Prolegnas Prioritas periode ini.

Kritik Penulis…

Secara pribadi penulis sangat menyayangkan tindakan wakil rakyat tersebut. Sebab, wacana untuk mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 merupakan salah satu bentuk pengabaian secara nyata atas tanggungjawab DPR terhadap hak-hak dan kesejhateraan rakyatnya.

Dalam upaya mewujudkan keadilan bagi korban kekerasan seksual memanglah membutuhkan komitmen yang nyata. Oleh karena itu, sebagai solusi atas  ketidakmampuan DPR dalam menyelesaikan RUU PKS, semestinya DPR melakukan konsultasi dengan pakar hukum maupun akademisi. Selain itu, DPR juga dapat mengadakan focus grup discussion atau mengadakan kompetisi bagi kalangan mahasiswa atau  umum jika ingin mendapatkan solusi konkrit dari generasi milenial.

Dengan demikian, pernyataan DPR yang mengatakan bahwa RUU PKS sulit untuk dibahas sehingga tidak dapat diselesaikan dengan tepat waktu, dapat diartikan hanyalah sebuah alasan belaka yang digunakan oleh DPR untuk menutupi kurangnya komitmen mereka atas persoalan ini.

#TerbaikTercepatTerpercaya

#KlinikHukumTerpercaya

#SemuaAdaJalannya

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?