GAds

Hakim Yang Mulia Terhormat

Profesi hukum pertama yang akan kita bahas adalah Hakim. Hakim sendiri pada esensinya merupakan titik ujung dari penegakan hukum. Hal itu karena kebijaksanaan yang tertuang dalam putusannya dapat menentukan nasib seseorang. Seorang Hakim bisa menentukan bahwa seseorang harus membayar denda yang bahkan dapat menguras harta benda orang tersebut. Hakim juga dapat membatasi kebebasan seseorang, membuatnya terkungkung dan meringkuk di dalam jeruji besi. Bahkan yang ekstrim lagi, Hakim dapat “mengambil” nyawa seseorang melalui hukuman mati. Sebegitu pentingnya peran seorang Hakim yang bahkan di dalam keyakinan Agama Islam, Hakim disebut sebagai perwakilan Tuhan di dunia. Mengapa seringkali penyebutan Hakim “Yang Mulia Terhormat” dalam persidangan?

Hakim dan Hukum

Begitu juga di Indonesia, yang bahkan dalam hukum positif menganjurkan kepada para peserta sidang untuk menghormati Hakim. Misalnya di Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Dijelaskan bahwasannya peserta sidang wajib berperilaku dengan tertib dan sopan selama persidangan. Memberi kehormatan termasuk kepada Hakim ketika memasuki dan meninggalkan ruang sidang juga termasuk kewajiban yang perlu diikuti oleh peserta sidang. Maka tidak heran jika di banyak kesempatan, Hakim sering disapa dengan “Yang Mulia Terhormat” khususnya oleh peserta sidang. Karena di tangan Hakimlah akan ditentukan berkaitan dengan status seseorang yang bermasalah di hadapan hukum.

Dari sudut pandang hukum positif, terdapat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai hukum materiil yang melandasi profesi hukum ini. Namun jangan disangka mentang-mentang hakim merupakan pucuk dari penegakan hukum, dihormati dan diatur secara tersendiri maka memiliki peran yang enak. Hakim dalam pandangan hukum merupakan profesi yang berat karena di dalam persidangan, hakim tidak boleh menolak perkara walaupun tidak ada hukum yang mengaturnya. Maka perkara apapun yang masuk ke register pengadilan, hakim wajib untuk menindaklanjuti perkara itu walaupun bahkan hukumnya tidak ada sama sekali. Hakim harus mencari dari peraturan lain yang berkaitan. Atau bahkan menurut Pasal 5, hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Hal yang berat yang harus dilakukan oleh hakim terutama yang tidak familiar dengan suatu daerah.

Regulasi vs. Hati Nurani

Pernah dengar kasus hakim sarpin? Atau kasus nenek yang mencuri beberapa buah kokoa? Masyarakat mungkin memandang suatu keputusan hakim terlampau bijak atau terlampau jahat. Padahal bisa jadi seorang Hakim dalam memutus perkara berpijak pada suatu regulasi bukanlah hati nurani khususnya hati nurani masyarakat. Seorang hakim rentan merasakan dilema, ketika terjadi suatu perkara yang menggetarkan hati nuraninya namun hukum tertulis yang dia lahap justru berbeda sikap atau bahkan bertentangan dengan hati nurani Hakim tersebut. Oleh karena itu admin sendiri tidak berani atau lebih tepatnya bukan dalam kapasitas untuk menentukan suatu putusan hakim disini benar atau salah. Karena memang pertentangan batin sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan Hakim. Jika ditelisik, putusan terburuk sekalipun pasti memiliki dasar yang membuat Hakim mengeluarkannya. Disclaimer: Putusan yang dimaksud disini adalah putusan yang dibuat oleh “Hakim”, bukan “Oknum Hakim” yang menerima praktik KKN.

Dilematika Seorang Hakim

Ada kalanya jika seorang Hakim mengikuti hati nuraninya akan berpengaruh pada banyak hal. Katakanlah ada orang yang melaporkan kepada Komisi Yudisial, bahwa ada Hakim yang tidak mengikuti undang-undang. Atau juga berpengaruh pada reputasinya jika misal seorang Hakim yang terlalu sering mengabaikan regulasi akan dipindahkan ke tempat yang jumlah perkaranya lebih sedikit. Belum jika mendapat kritik dari akademisi hukum mengenai disparitas dan diskoneksi antara putusan dan peraturan. Maka memang tidak dapat dipungkiri profesi seorang Hakim di satu sisi mulia, namun di sisi lain juga berat. Oleh karena itulah dalam konsep persidangan, seringkali dipimpin oleh Majelis Hakim yang terdiri dari minimal 3 orang. Hal tersebut untuk membagi beban moral yang harus ditanggung karena keluarnya suatu perkara. Selain itu juga memperkaya referensi dan argumentasi hukum karena terdapat tiga pendapat atau reasoning. Walaupun dalam perkara tertentu yang “cukup ringan” dan dalam kondisi pengadilan yang kekurangan Hakim, maka terpaksa hanya menggunakan seorang Hakim sebagai majelisnya.

Maka demikianlah pembahasan kita mengenai “Hakim: Yang Mulia Terhormat”. Ayo ikuti pembahasan mengenai profesi hukum lainnya disini.

#TerbaikTercepatTerpercaya

#KlinikHukumTerpercaya

#SemuaAdaJalannya

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?