Di post sebelumnya, kita sudah membahas tentang PIRT dan pernak-perniknya secara lugas. Di kesempatan ini, kita akan mengupas tuntas mengenai hal yang (mungkin) menjadi dilema bagi sebagian pengusaha, khususnya produsen produk konsumsi yang memerlukan proses mengolah produk (produk olahan). Mengapa dikatakan dilema? Karena berkaitan dengan pemenuhan izin edar merupakan aset sekaligus investasi jangka panjang. Izin edar tidak hanya digunakan untuk sekarang, namun juga nanti bahkan hingga generasi-generasi selanjutnya. Memiliki izin edar relatif mudah menyesuaikan birokrasi kedepannya ketimbang harus membuat baru. Adapun dilema yang mungkin juga sedang kamu pikirkan adalah: lebih baik mengurus BPOM yang cakupannya nasional tapi harus mengeluarkan biaya cukup besar di awal usaha, atau mengurus PIRT yang cakupannya secara lokal perlahan-lahan disepanjang usaha? Di post kali ini, kita akan menakar untung rugi antara BPOM Nasional dan PIRT Multilokal.
BPOM: Nasional, tapi Mahal
BPOM, seperti yang kita pahami merupakan izin edar yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Skala izin edar yang satu ini sudah pasti nasional. Artinya, dengan mengantongi izin edar BPOM, suatu produk diperbolehkan beredar di pasar seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa terkecuali. Pada umumnya, izin BPOM merupakan izin edar dasar yang dipersyaratkan oleh minimarket dan supermarket. Bahkan beberapa toko semi minimarket bisa jadi meminta syarat legalitas ini kepada distributor produk. Nah Rencang-Rencang pasti paham “ampuhnya” izin edar yang satu ini. Dengan bertebarannya minimarket dan sejenisnya dimana-mana, serta ramainya supermarket dari konsumen. Membuat produkmu akan beredar dengan luas dan cepat. Bahkan suatu produk akan cepat viral, hype, dikenal dengan cepat oleh masyarakat apalagi jika secara kualitas menandingi kompetitor tapi secara harga lebih kompetitif. Produkmu dengan cepat bisa menjadi substitusi bagi produk keluaran petahana.
Tapi seperti yang disebutkan dalam subjudul section ini, walaupun BPOM memiliki keunggulan yang dahsyat untuk menyebarluaskan produkmu dengan cepat dan luas, akan tetapi BPOM memerlukan biaya pengurusan yang relatif mahal. Atau sebenarnya bisa admin katakan: tidak affordable bagi pengusaha menengah kebawah. BPOM bukanlah hal yang memberatkan bagi pengusaha besar. Tapi bagi pengusaha nanggung alias “mendang-mending”? Tentu menimbulkan dilema tersendiri. Sebagai gambaran, BPOM dapat menyedot biaya belasan hingga puluhan juta. Mengapa bisa mahal? Karena pemeriksaan BPOM sangat ketat. Biaya dihitung per jumlah varian (bukan jumlah produk). Termasuk terdapat biaya visitasi dan juga biaya uji laboratorium hingga biaya administrasi dan publikasi. Akan tetapi bagi pengusaha yang benar-benar niat, biaya berapapun diterjang. Karena orientasi dari memiliki izin edar adalah penyebarluasan produk. Semakin tersebar, semakin tinggi potensi diminati konsumen, semakin banyak permintaan dari pasar yang mendatangkan keuntungan. Tapi bagi yang memiliki keterbatasan alokasi legalitas?
PIRT Multilokal: Irit, tapi Berbelit
Sebetulnya istilah PIRT Multilokal sendiri adalah istilah yang dibuat oleh admin. “Multilokal”, merupakan lingkup yang lebih sempit daripada multinasional. Jika multinasional artinya di beberapa negara, maka multilokal yang dimaksud penulis adalah di beberapa wilayah atau daerah. Sebenarnya pada intinya, alih-alih mendaftarkan BPOM yang cukup mahal, produsen memiliki opsi untuk mendaftarkan produk olahannya di beberapa daerah baik sekaligus maupun bertahap melalui izin PIRT. Tujuannya jelas, agar produk itu beredar di beberapa wilayah walau tanpa izin BPOM. Keistimewaannya tentu saja lebih irit dibandingkan mengurus izin BPOM. Biaya yang dikeluarkan per PIRT tidak sampai lima juta (biaya maksimal, tergantung jenis produk). Selain irit, pengusaha juga bisa menargetkan wilayah tertentu sebagai lokasi pemasaran dan fokus hanya pada wilayah itu saja (alih-alih BPOM yang lingkupnya nasional, memerlukan waktu-tenaga-biaya pemasaran yang pastinya tidak sedikit juga).
Model PIRT Multilokal juga efektif digunakan bagi pengsusaha dengan prinsip “perlahan tapi pasti”. Maksudnya, di awal berusaha tidak berambisi ingin menyebarluaskan produknya ke pasar yang luas. Akan tetapi cukup berfokus ke wilayah potensial yang dirasa memiliki permintaan produk yang tinggi. Jika di satu wilayah sudah settle, barulah mencari peluang di wilayah lainnya. Atau biasanya demand alami produk muncul karena ketertarikan konsumen dari wilayah lain yang tidak dijangkau produsen. Maka katakanlah beberapa tahun setelah settle di wilayah awal, pengusaha mulai berpikir untuk mengembangkan bisnisnya dengan membuka cabang di wilayah lain. Model pengusaha seperti ini sangat cocok mengurus PIRT Multilokal. Di tahun pertama, dia mengurus PIRT di wilayah asal/pusat. Di tahun-tahun selanjutnya, dia akan mengurus PIRT di wilayah cabang yang dirasa prospektif. Tapi kelemahannya tentu saja berbelit (walaupun irit) karena harus mengurus legalitas di beberapa tempat sekaligus. Belum lagi alur birokrasi pengurusan PIRT bisa jadi ribet dengan waktu pelayanan yang berbeda-beda.
Nasional vs. Multilokal
Subjudul di bagian ini bisa dibilang menggambarkan dasar dilema pilihan izin edar yang perlu dipenuhi oleh pengusaha produk olahan. Tapi dasar dilema pemilihan antara BPOM dan PIRT Multilokal tak lain dan tak bukan dengan pertimbangan alokasi anggaran. Setelah bahasan diatas, bisa kita sederhana menakar untung rugi Antara BPOM Nasional dan PIRT Multilokal dengan poin-poin berikut:
BPOM (Skala Nasional)
(+) Pros
- Produk beredar dengan sangat cepat
- Tidak ribet, hanya sekali mengurus
(-) Cons
- Biaya mahal, belasan hingga puluhan juta
- Upaya pemasaran besar, tidak fokus
PIRT (Multilokal)
(+) Pros
- Irit, bisa dialokasikan ke kebutuhan lain
- Pemasaran lebih fokus ke wilayah tertentu
(-) Cons
- Berbelit, birokrasi setiap pengurusan PIRT beda
- Produk kurang tersebar, potential loss jangka panjang
P-Potential Loss???
Apakah yang dimaksud potential loss jangka panjang untuk PIRT Multilokal? Maksudnya adalah pengusaha bisa saja kehilangan momen dari tingginya demand di suatu wilayah. Misalnya, pengusaha X menjajakan produk Mie Extra Pedas di wilayah A. Ternyata, masyarakat di wilayah B juga berminat dengan produk Mie Extra Pedas. Akan tetapi pengusaha X kurang mengetahui informasi potensial tersebut. Pengusaha Y memanfaatkan dengan membuat produk Mie Extra Pedas terlebih dahulu dan mengurus izin edar di wilayah B. Maka, pengusaha X kehilangan potensi penjualan produknya di wilayah B. Apalagi jika pengusaha Y bukan hanya mengurus PIRT melainkan BPOM. Pengusaha Y memiliki potensi menggusur produk pengusaha X.
Akan tetapi proyeksi dalam simulasi ini merupakan kemungkinan jangka panjang. Namanya kemungkinan, bisa ya bisa juga tidak. Maka jika kamu memutuskan untuk memilih PIRT Multilokal, pintar-pintarlah mengendus prospek permintaan pasar dari wilayah lain. Potential loss ini tentu tidak perlu dikhawatirkan oleh produsen yang lebih memilih mengurus BPOM, karena bahkan tanpa mengetahui tinggi rendahnya permintaan pasar, dia dapat men-supply produknya kemanapun dia mau tanpa memikirkan legalitas. Jika dalam analisis bisnisnya melihat ada peluang di suatu daerah, dia tinggal menerjunkan produknya tanpa memirkirkan syarat izin edar karena dia telah memilikinya.
Jadi bagaimana bijaknya? Sebetulnya menurut admin, parameter paling enak untuk memilih BPOM atau PIRT bukanlah dari proyeksi bisnis, akan tetapi ketahanan produk. Bahkan walaupun kamu adalah sultan dan produkmu dibutuhkan masyarakat nasional, tidak akan bisa didaftarkan BPOM jika masa kadaluarsanya amat cepat. Sehingga alangkah baiknya menjadikan keawetan produk sebagai patokan. Jika produkmu bertahan kurang dari 6 (enam) bulan, mengurus PIRT saja sudah cukup. Tapi jika produkmu bertahan lama? Silahkan choose your hero! Hehehe. Kamu masih bingung dan overthinking mengenai menakar untung rugi Antara BPOM Nasional dan PIRT Multilokal? Jangan sungkan untuk berkonsultasi kepada kami terlebih dahulu. 🙂
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Civitas Akademika ilmu hukum yang terfokus di bidang Hukum Bisnis, Hukum Ekonomi dan Hukum Teknologi.