Sebelumnya kita telah mendiskusikan tentang kenapa iklan harus dikenai pajak. Maka di kesempatan inilah kita berbicara poin-poin penting mengenai pajak iklan online, lebih tepatnya Pengaturan Pajak Iklan E-Commerce. Loh kok cuma E-Commerce? Karena memang baru pengaturan iklan di toko online saja yang memiliki regulasi. Memang cukup tertinggal hukum di negeri kita ini. Di saat iklan di internet sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Jenis-jenis iklan pun banyak. Sebelum admin mencicipi ilmu hukum pun bahkan sudah mengikuti program bisnis online yang disebut “Paid per Click” atau PPC, dimana partisipan hanya bertugas melihat iklan untuk mendapatkan uang. Atau Rencang-Rencang pasti pernah mendengar tentang Google Adsense dan sejenisnya bukan? Platform yang memberi penghasilan kepada website yang mempublikasikan iklan si Advertiser. Dan setelah berbagai perkembangan itu, hukum positif Indonesia memulai dari: Pajak Iklan di E-Commefce
Iklan: Pencurian Perhatian vs. Gangguan Kenyamanan
Memang ada dua pandangan akan iklan ini, yaitu yang menganggap bahwa iklan merupakan hal yang penting dan hal yang mengganggu. Mengganggu karena keberadaannya tidak diinginkan, mengganggu pengalaman berinternet hingga dirasa spam. Penting karena justru semakin kesini iklan semakin “dewasa”. Hadirnya teknologi bernama internet memungkinkan algoritma iklan menyesuaikan diri dengan kebiasaan pengguna. Semisal kamu sedang membahas tentang tipe HP mu di Wh*tsApp, maka tidak menutup kemungkinan muncul iklan aksesoris HP mu di Inst*gram kamu (pengalaman pribadi admin hehe). Tentu menjadi penting karena seolah-olah bot dapat mengikuti “apa yang kamu pikirkan” dan justru membantumu mencari hal yang kamu inginkan (bukan iklan acak seperti di TV, Radio atau Surat Kabar). Tapi ada juga pandangan bahwa iklan itu sebenarnya mengganggu karena bisa menciptakan gaya hidup konsumtif. Maksudnya mudah tergiur akan sesuatu yang diiklankan, bukan terganggu karena konten iklannya. 😀
Tapi apapun pandangannya, setidaknya itulah yang menjadi salah satu dasar mengapa iklan di internet sekalipun juga perlu dikenai pajak. Di satu sisi berpotensi menimbulkan keuntungan bagi pengiklan (keuntungan perlu dibebani Pajak Pertambahan Nilai dong) dan di sisi lain berpotensi mengganggu “pemandangan” khalayak ramai (yang mana sebagai “gantinya”, penerbit iklan dikenai Pajak Penghasilan). Selama ini hukum positif Indonesia sudah gencar menerapkan pajak iklan yang berbentuk fisik. Tapi untuk iklan di dunia maya? Sebelum kehadiran pengaturan Pajak Iklan E-Commerce ini, hukum positif Indonesia can’t relate ehehehe 😀 Namun anyway, kita sudah menangkap alasan mengapa iklan termasuk iklan internet dapat menjadi objek pajak. Terlebih menurut admin, potensi pendapatan negara dari iklan internet ini juga besar.
Surat Edaran = Peraturan?
Pengaturan mengenai pajak iklan E-Commerce ini tidak berwujud undang-undang. Tidak pula peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Bahkan juga bukan peraturan menteri yang notabene tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Melainkan tak lain dan tak bukan adalah Surat Edaran. Kamu dapat melihat pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce. Mulai pusing? Tenang. Di kesempatan ini akan admin rangkum poin-poin penting dalam Surat Edaran tersebut. Tapi ada satu yang perlu ditekankan. Apakah Surat Edaran merupakan peraturan? Menurut penulis, seharusnya merupakan keputusan (beschikking) yang mempengaruhi internal DJP. Akan tetapi karena dampaknya luas ke masyarakat, maka bolehlah dikatakan peraturan (regeling).
-
Kategorisasi Pajak
Dalam Surat Edaran ini sama seperti perkataan Direktur DJP, terdapat dua kategorisasi yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk mekanismenya sendiri mengikuti pengaturan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana cara mengetahui apakah seseorang dikenai PPh atau PPN? Lanjut poin berikutnya ya, Rencang.
-
Perbedaan Wajib Pajak
PPh dikenakan kepada penyedia jasa pengiklanan daring yang masuk sebagai classified ads. Adapun yang menjadi objek pajak adalah imbal jasa yang disebut transaction fee. Yang dimaksud penyedia layanan ini adalah entitas yang memiliki situs internet untuk mengoperasikan toko, memajang konten (kalimat, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain), barang maupun jasa. Sedangkan PPN dibebankan apabila jasa pengiklanan daring (Jasa Kena Pajak) diserahkan di daerah kepabeanan baik pengguna Jasa Kena Pajak berasal dari dalam maupun luar daerah pabean.
-
Objek Pajak
Baik PPh maupun PPN pada dasarnya memiliki objek pajak yang sama yaitu konten, barang maupun jasa yang diiklankan secara daring. Sehingga yang membedakan disini hanyalah dimana tempat Jasa Kena Pajak ditransaksikan, apakah di dalam daerah pabean (terkena PPN) ataukah di luar daerah pabean (PPh).
Selengkapnya mengenai perhitungan pajak dan permohonan pajak sebetulnya bukanlah ranah kami akan tetapi sudah masuk lingkup ilmu perpajakan. Kamu bisa mengakses informasinya secara lengkap di laman ini dan post ini (yang juga jadi sumber kami dalam menulis post ini). Namun pada intinya, sebenarnya ketentuan pengenaan pajak mengikuti ketentuan PPh dan PPN pada peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku sebelumnya. Ada yang mengganjal di hati? Yuk diskusi!
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya