Post di akhir Oktober 2020 ini sekaligus mengakhiri pembahasan kita mengenai Startup ditinjau dari rezim hukum investasi atau penanaman modal. Tapi bukan berarti kajian Hukum Startup kita selesai ya, Rencang. Masih panjang bahasan kita mengenai Hukum Startup yang akan kita sambung di bulan November bahkan hingga penghujung tahun 2020. Strategi atau metode Bakar-Bakar Uang memang merupakan salah satu karakteristik Startup. Karena apa yang dikejar oleh Startup sebagai first goals adalah traksi dengan cara menguasai pasar dan meningkatkan pengguna layanan sebanyak mungkin. Traksi tersebut kemudian dapat divaluasi dan dimonetisasi oleh Startup dalam bentuk panen keuntungan di masa yang akan datang setelah pasar berhasil dikuasai. Nah Bakar-Bakar Uang inilah caranya. Bakar-Bakar Uang masih berhubungan dengan penanaman modal. Lantas, apakah ada bahaya strategi Bakar-Bakar Uang ini?
Bakar-Bakar Uang: Kiasan, bukan Harfiah
Sebelum kita membahas mengenai bahaya Strategi Bakar-Bakar Uang oleh Startup, ada baiknya kita membahas terlebih dahulu tentang apa itu metode Bakar-Bakar Uang. Kegiatan Bakar-Bakar Uang identik dengan agenda pemasaran/marketing yang dilakukan dengan memberi diskon, cashback, dan penawaran lain secara intens dan besar-besaran agar pengguna tetap menggunakan layanan Startup sekaligus mengundang pengguna baru. “Bakar-Bakar Uang” sendiri adalah istilah kiasan. Bukan secara harfiah yang membakar uang (jelas dipidana). Startup menggunakan modalnya habis-habisan demi kenyamanan pengguna layanan. Supaya mereka “kecanduan” dan terus menerus menggunakan layanan Startup dalam jangka menengah hingga panjang. Mengapa masih berkaitan dengan penanaman modal? Karena modal yang digunakan untuk kegiatan ini sebagian besar berasal dari dana yang disuntikkan oleh investor.
Bakar-Bakar Uang seharusnya dilakukan oleh Startup ketika produk Startup sudah mengalami pertumbuhan (pandangan Vincent Iswara, CEO Dana). Satuannya secara informal sering disebut “Burn Rate“. Rumusnya, Burn Rate harus lebih rendah dari kalkulasi nilai hidup konsumen (Customer Lifetime Value). Jika pertumbuhan Startup stagnan (berhenti) sebelum Burn Rate diraih, maka ada yang salah dengan produk Startup. Menurut Aaron Nio (Direktur Plug and Play Indonesia), Bakar-Bakar Uang idealnya dilakukan selama enam bulan saja. Startup yang siap melakukan Bakar-Bakar Uang harus memiliki unit ekonomi bisnis yang masuk akal, fokus pada pertumbuhan dan punya objek jelas serta target yang ingin diraih. Burn Rate bulanan memiliki rumus modal awal dikurangi modal saat ini dibagi 12. Dan Bakar-Bakar Uang ini harus dikalkulasi ulang setiap 6 bulan untuk memastikan agar pengeluaran bulanan tidak sampai menyentuh modal minimum, bisnis tetap berjalan dan antisipatif terhadap perubahan. Menurut Nailul Huda (Ekonom INDEF), Bakar-Bakar Uang masih berkorelasi dengan kekayaan dan loyalitas investor.
Bahaya Strategi Bakar-Bakar Uang
Diambil dari tesis Nurul Ula Ulya, S.H., M.H. terdapat beberapa bahaya atau potensi risiko yang kemungkinan terjadi dari Strategi Bakar-Bakar Uang yang tidak tepat. Untuk saat ini, konsep Bakar-Bakar Uang memang merupakan strategi yang dirasa paling efektif karena sebagian besar Startup masih meraba-raba metode pemasaran yang tepat. Sehingga untuk mendisrupsi kompetitor konvensional, konsep Bakar-Bakar Uang pun diimplementasikan untuk “membiasakan” pengguna layanan menggunakan inovasi layanan yang ditawarkan Startup. Apa saja bahaya strategi Bakar-Bakar Uang yang dilakukan oleh Startup?
-
Risiko Gagal Startup
Salah satu potensi buruk Bakar-Bakar Uang adalah menimbulkan efek domino terhadap perekonomian apabila tidak dibatasi oleh campur tangan negara. Terdapat potensi kegagalan Startup yang menurut Forbes mencapai angka hingga 90%. Hal ini menurut Frans dikarenakan konsep Bakar-Bakar Uang sebetulnya merupakan lingkaran setan yang bersifat relentlessly bagi Startup. Strategi Bakar-Bakar Uang ini dianggap sebagai cara paling efektif bagi Startup untuk selalu masuk dan bertahan dalam pusaran pasar. Yang menjadi bahaya adalah jika Startup tidak memiliki modal finansial dan modal sosial yang cukup kuat untuk membangun ekosistem bisnisnya.
-
Dampak Negatif bagi Persaingan Usaha
Ditambah lagi karakter masyarakat Indonesia yang Pra-Sensitivity-nya tinggi. Artinya, berkurangnya promosi dan penawaran oleh Startup mudah membuat para pelanggan beralih. Oleh karena itu, perilaku Bakar-Bakar Uang bukan hanya membuat pengguna layanan bertahan, tapi juga mematikan pesaing. Adanya kecenderungan ini sebetulnya menunjukkan metode Bakar-Bakar Uang bukanlah merupakan strategi yang sehat, karena hanya menimbulkan permintaan semu (Artificial Demand) dan persaingannya menjadi tidak sehat. Nah Rencang, ternyata karakteristik Startup yang satu ini ada hubungannya juga dengan rezim Hukum Persaingan Usaha, ya? Ditambah jika rupanya kompetitor melakukan Burn Rate lebih besar, akan memicu risiko gagal Startup.
-
Menimbulkan Buble Economic (Gelembung Ekonomi)
Terdengar menyenangkan? Sayangnya tidak. Menurut Ekonom senior INDEF, Aviliani, pertumbuhan Startup yang melesat namun dengan tingkat keuangan yang masih merah wajib diwaspadai. Hal ini dikarenakan walaupun Startup memiliki valuasi dan traksi yang tinggi, namun dengan minimnya keuntungan, belum Break Even Point (BEP) dan belum mencapai Roll of Investment (ROI), berpotensi menimbulkan dampak ekonomi seperti krisis. Terlebih jika Startup itu sampai mencapai IPO (Penawaran Umum Perdana) dan sahamnya telah dibeli masyarakat, jika bisnisnya jatuh pasti akan menimbulkan chaos perekonomian. Ibaratnya mengapa disebut sebagai teori gelembung ekonomi karena diibaratkan seperti gelembung. Semakin besar ukuran suatu gelembung, semakin rentan untuk pecah atau meletus. Valuasi atau traksi Startup diibaratkan sebagai ukuran gelembung. Sedangkan kondisi keuangan diibaratkan sebagai kerentanan suatu gelembung.
Gelembung ini dinyatakan dalam bentuk ekspektasi terhadap pasar yang berlebihan sehingga valuasi melonjak tanpa diiringi nilai fundamental (nilai asli) Startup terutama jika dinilai dari aset perusahaan. Dengan kondisi itu, nilai Startup dikalkulasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai asli karena melihat dari potensi layanan dan pengguna. Padahal, ekspektasi tersebut hanyalah spekulasi. Atau dalam kondisi lain, Startup mempersiapkan IPO namun tidak memiliki aset sendiri melainkan sebagian besar milik pihak ketiga. Kejadian ini memungkinkan terjadinya gelombang ekonomi yang akan dirasakan masyarakat secara makro. Contoh nyatanya terjadi di Amerika, dimana jumlah perusahaan baru mencapai 400.000 perusahaan namun di waktu yang sama terdapat penyusutan ekonomi di sektor ekonomi digital yang berdampak pada 27 juta penduduk dan membahayakan jutaan karyawan.
-
Merugikan Investor (dan Startup Sendiri)
Kenyataannya walau banyak Startup yang menggunakan strategi Bakar-Bakar Uang, tidak sedikit juga investor yang memiliki pandangan kontra terhadap metode ini. Sebut saja Northstar, salah satu investor Gojek yang buka-bukaan mengutarakan pandangan bahwasannya teknik Bakar-Bakar Uang bukanlah strategi yang sehat dan seperti pada poin kedua, hanyalah menghasilkan permintaan yang semu. Tentu hal ini tidak baik bagi perusahaan karena demand yang dikalkulasi dan diproyeksi bukanlah permintaan jangka panjang. Jika pandangan ini mulai terbukti dan mulai menyebar, investor akan meninggalkan Startup seperti yang dialami Bukalapak. Dan yap, mencari investor yang ingin menggelontorkan dana hanya untuk dibakar saja sudah sulit ketika dilakukan pada saat bisnis Startup sedang naik daun. Apalagi ketika mulai banyak investor yang berpikir bahwa model usaha Startup tidak lagi prospektif.
-
Merusak Reputasi Bisnis Digital
Bisnis Startup dengan segala karakteristiknya (termasuk menggunakan strategi Bakar-Bakar Uang) digadang-gadang merupakan bisnis digital yang akan eksis di masa yang akan datang. Tapi semakin kesini, metode Bakar-Bakar Uang semakin dinilai bukanlah metode yang menyehatkan dan justru menambah beban perusahaan. Bahkan saat post ini dibuat, sudah banyak artikel serupa yang bahkan membahas saat inilah pudarnya era Bakar-Bakar Uang. Karena memang strategi ini sangat riskan dan banyak membuat bisnis Startup rontok satu persatu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan stigma negatif bagi reputasi bisnis digital kedepannya. Citra yang melekat bahwa Startup akan mendisrupsi bisnis-bisnis konvensional tentu saja akan rusak dan malah mempermalukan pemain Startup yang terkesan “menantang para pemain lama”.
Admin disini bukan dalam posisi yang kontra dengan strategi Bakar-Bakar Uang, apalagi terhadap model usaha Startup. Tidak salah juga menggunakan cara yang cukup anti mainstream bagi bisnis konvensional tersebut. Toh juga belum ada metode yang benar-benar tepat bagi Startup, khususnya untuk “membedakan dengan bisnis konvensional”. Secara tujuan sudah terlihat berbeda, dimana bisnis konvensional lebih mencari keuntungan sedangkan tujuan Startup adalah menguasai pasar. Akan tetapi untuk melakukan strategi ini juga harus dibarengi dengan perencanaan yang sangat matang dan kalkulasi dari segala pertimbangan. Bukan hanya jangka pendek melainkan jangka panjang, menggaet loyalitas pengguna layanan bukan hanya mengundang untuk mencicipi dalam jangka waktu singkat. Perlu diperhatikan juga estimasi waktu yang telah disarankan para ahli, serta diperlukan pembatasan agar bahaya strategi Bakar-Bakar Uang dapat diminimalisir. Cukup miris bahkan ketika banyak yang menganggap era Bakar-Bakar Uang hampir berakhir, pengaturan normatif untuk membatasinya agar tidak mengganggu perekonomian hingga saat ini belum ada.
Contoh Kasus Kegagalan Bakar-Bakar Duit
Contoh nyata gagalnya strategi Bakar-Bakar Uang dialami oleh salah satu Startup dengan usaha Co-Working Space yang bernama WeWork. Salah satu investornya yaitu SoftBank mencatat kerugian yang dialami akibat kegiatan Bakar-Bakar Uang oleh WeWork yang saat ini telah berstatus Decacorn. Valuasi WeWork pada awalnya mencapai US$ 50 Miliar, setelah dikalkulasi ulang menjadi hanya kurang dari 5% dari nilai valuasi awal tersebut. Vision Fund sebagai investor lain harus menyiapkan dana talangan sebesar US$ 10 Miliar untuk menyelamatkan bisnis WeWork dari kebangkrutan. Total hutang WeWork mencapai US$ 8,9 Miliar. Apakah dampak ekonominya “hanya” itu saja? Ternyata tidak. WeWork juga terpaksa memecat 19% dari total 12.500 karyawannya. Terdengar mengerikan bukan dampak negatifnya kepada perekonomian?
Di tingkat nasional, terdapat Startup OVO yang bergerak dibidang pembayaran digital yang ditinggalkan oleh salah satu investornya yaitu LIPPO Group. LIPPO melepas 70% kepemilikan sahamnya karena sudah tidak kuat lagi membakar uang dengan memberi penawaran, diskon dan promosi setiap bulan secara terus menerus kepada penggunanya. Bahkan menurut salah satu ekonom, Nailul Huda, strategi Bakar-Bakar Uang yang dilakukan OVO hanyalah menambah beban perusahaan LIPPO Group. Apalagi, OVO harus bersaing dengan kompetitor utamanya yaitu Gopay yang berada dibawah naungan Gojek. Belum lagi perusahaan Bukalapak yang ditinggal oleh investornya hingga harus berganti CEO dari Founder sebelumnya dan melakukan penataan internal termasuk mengambil kebijakan PHK agar perusahaan tetap berjalan dan mencapai BEP.
Ternyata bisnis Startup yang cenderung baru ini tak selamanya mulus ya, Rencang. Dibalik strategi atau metode Bakar-Bakar Duit, tersimpan bahaya yang tidak hanya memberi impact pada perusahaan tapi juga skala perekonomian secara luas. Kamu pengusaha Startup? Bisa banget mampir di penawaran ini sebagai starting point kesuksesan kamu. 🙂
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Civitas Akademika ilmu hukum yang terfokus di bidang Hukum Bisnis, Hukum Ekonomi dan Hukum Teknologi.