GAds

Komitmen Setengah Hati Pemerintah dalam Mengkampanyekan Program Kendaraan Listrik

Komitmen Setengah Hati Pemerintah dalam Mengkampanyekan Program Kendaraan Listrik

Baru sebentar dibuat senang, masyarakat kembali dibuat susah. Ungkapan tersebut sangat cocok diberikan kepada pemerintah yang telah memainkan fluktuasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) produk PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya korporat yang “direstui” untuk memonopoli pasar bahan bakar minyak di Indonesia. Bagaimana tidak, di penghujung bulan Agustus 2022, terhembus kabar bahwa harga BBM di Indonesia akan mengalami kenaikan. Desas-desus tersebut membuat sebagian masyarakat bersiap sedia jika sewaktu-waktu harga BBM benar-benar mengalami kenaikan yang dapat mempengarhui biaya operasional.

Ternyata di awal September 2022, yang terjadi justru sebaliknya. Harga BBM justru mengalami penurunan. Sebagian masyarakat merasa di-prank karena menjelang isu kenaikan rela mengantri supaya merasakan harga BBM sebelum naik. Sebagian lagi merasa lega karena prank yang menyenangkan tersebut. (Aulia Damayanti, 2022) Belum sampai euforia tersebut turun, pemerintah kembali memberikan kejutan namun kali ini tidak menyenangkan sama sekali. Desas-desus kenaikan BBM tersebut benar-benar terjadi! Namun setelah harganya sempat turun. (CNN Indonesia, 2022) Sangat membagongkan, bukan? Namun mungkin untuk sebagian masyarakat, kenaikan BBM oleh pemerintah ini sudah menjadi hal yang perlu dimaklumi. Curahan hati kalangan tersebut pasti: “ente kadang-kadang ente!”.

Kendaraan listrik merupakan alternatif terbaik dari permasalahan masyarakat berkaitan dengan konsumsi bahan bakar. Dibandingkan dengan kendaraan konvensional, kendaraan listrik memiliki biaya operasional yang lebih rendah. Misalnya sebagai perbandingan menurut penelitian yang diselenggarakan oleh Desmas A. Patriawan (2021), Mobil Listrik Nissan Leaf pada jarak 187.200 KM memerlukan biaya Rp. 15.200.640,-. Sedangkan Mobil Konvensional Toyota Avanza memerlukan biaya Rp. 71.136.000,-. Belum lagi membahas mengenai komponen kendaraan listrik yang memiliki sedikit moving parts sehingga cenderung memiliki biaya perawatan yang lebih dapat ditekan dengan Nissan Leaf yang memerlukan Rp. 13.150.000 sedangkan Toyota Avanza memerlukan biaya Rp. 36.248.000,-. Tak heran jika kendaraan listrik menjadi alternatif solusi terbaik.

Teknologi kendaraan listrik sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan, teknologi ini telah ada dan dikembangkan sejak seratus tahun lalu. Permulaan era kendaraan listrik menjadi masif pada tahun 1900-an yang mana pada saat itu, kendaraan listrik justru lebih populer dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Namun dengan banyak faktor seperti perkembangan infrastruktur jalan antar kota yang memerlukan jarak tempuh serta bahan bakar yang tidak dapat dipenuhi oleh kendaraan listrik, murahnya harga bahan bakar minyak yang masih melimpah pada saat itu karena banyaknya ditemukan area cadangan minyak bumi, penemuan-penemuan teknologi kendaraan konvensional yang lebih mutakhir, produksi massal kendaraan konvensional, ditambah masih kurang memadainya infrastruktur untuk mendukung kendaraan listrik, membuat penggunaan kendaraan konvensional meroket dengan signifikan. Di beberapa waktu setelahnya, kendaraan listrik berulang kali digadang-gadang menjadi alternatif bahan bakar kendaraan yang mulai langka pasokannya serta juga mempertimbangan dari segi kelestarian lingkungan yang lebih aman. (Nyoman S. Kumara, 2009)

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang “mendukung” kebijakan percepatan kendaraan listrik. Terbukti dari keberadaan beberapa regulasi yang telah diluncurkan pemerintah diantaranya dengan aturan induknya yaitu Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. (CNN Indonesia, 2020) Selain itu, terdapat pula beberapa hak istimewa (privilege) yang diberikan oleh pemerintah kepada para pemilik kendaraan listrik. Pertama, pengguna kendaraan listrik “kebal” dari kebijakan ganjil genap. Kedua, terdapat insentif khusus kepada pengenaan pajak barang mewah yang lebih murah dibandingkan kendaraan konvensional. Begitu pula berkaitan dengan bea balik nama yang jauh lebih murah maksimal 2,5%, sedangkan kendaraan konvensional dapat dikenakan hingga 12%. Ketiga, terdapat diskon yang akan diberikan oleh PT PLN kepada pengguna kendaraan listrik yang mengisi daya Overnight Charge. Keempat, terdapat wacana biaya parkir yang murah bahkan digratiskan bagi pengguna kendaraan listrik. (Medcom, 2019) Maka tak heran jika kepemilikan kendaraan listrik di Indonesia melonjak dengan cukup eksponensial. Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, hingga Maret 2022, terdapat 16.060 unit kendaraan listrik di Indonesia. (Kompas, 2022)

Namun demikian, membahas mengenai keadilan energi yang lingkupnya terkait akses universal terhadap energi yang aman, terjangkau dan berkelanjutan, perlu melihat sisi lain dari kampanye kendaraan listrik di Indonesia. Terdapat beberapa fakta yang menghambat penyelenggaraannya di Indonesia. Pertama, masih sangat terbatasnya jumlah Stasiun Pengisian Listrik Umum. Kurangnya infrastruktur tersebut disinyalir dapat menghambat percepatan penyelenggaraan kendaraan listrik di Indonesia. (I.P. Dharmawan, 2021)

Kedua, harga kendaraan listrik khususnya mobil listrik yang masih terlampau mahal dan tidak terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah. Padahal menurut Ridwan Arief Subekti dkk. (2014), pemerintah seharusnya memberikan insentif yang dapat memberikan perlakuan yang sama atau bahkan lebih baik kepada kendaraan listrik dibandingkan dengan LCGC yang mana hal tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik dengan harga terjangkau dan kualitas yang baik. Sedangkan pada saat ini, harga mobil listrik masih sangat mahal dan tidak ditekan dengan subsidi agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Padahal dalam konteks keadilan energi, seharusnya setiap masyarakat dapat menikmati akses terhadap energi terbarukan secara inklusif, energi yang terjangkau, bersih, inklusif dan berkelanjutan. Namun walaupun animo masyarakat terhadap kendaraan listrik sangat tinggi, namun dengan adanya fakta ironi akan masih mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. Untuk apa memberikan berbagai hak istimewa kepada pengguna kendaraan listrik, jika yang menggunakan adalah masyarakat berada yang dapat merogoh kocek dalam untuk membeli kendaraan listrik bahkan dapat lebih dari satu? Dimana peran nyata pemerintah untuk melakukan percepatan program kendaraan listrik, apabila sebagian besar masyarakat Indonesia masih tidak dapat menjangkau harga mobil listrik tersebut?

Bahkan pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali 2022 kemarin, mobil listrik yang digunakan adalah mobil listrik mahal dari pabrikan ternama. Tidak ada mobil listrik merakyat bernama K-Upgrade dengan harga Rp. 75 Juta saja yang diimpor oleh PT Kurnia EVCBU Internasional yang digadang-gadang oleh media sebagai mobil listrik yang akan berseliweran di jalanan dengan harganya yang memang realistis lebih murah dan terjangkau bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah yang harganya lebih murah dari konvensional (Wahyu Sibrani, 2022). Namun, mobil listrik murah tersebut – walaupun secara fitur dan faktor keamanan belum diketahui kelengkapannya – nyatanya tidak banyak diangkat ke permukaan, baik oleh pemerintah maupun oleh media mainstream. Media terlalu fokus memberitakan mobil listrik “murah” dari pabrikan Tiongkok yang lebih mahal dari LCGC. Hal ini menurut penulis menunjukkan setengah hatinya komitmen pemerintah dalam mewujudkan keadilan energi di Indonesia.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?