Halo Rencang-Rencang sekalian. Selama beberapa minggu ini, kita akan membahas mengenai upaya Pengenaan Pajak Transaksi Elektronik/Digital. Mengapa admin menggunakan dua terminologi “Elektronik” dan “Digital”? Karena sepertinya Hukum Positif Indonesia sendiri masih memiliki dilema akan mana istilah yang paling tepat untuk digunakan. Karena mengingat sebenarnya yang ingin diincar adalah transaksi yang menggunakan akses internet dan lebih condong menggunakan terminologi “Digital”. Akan tetapi secara induknya yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik – tentu beserta turunannya – justru menggunakan kata “Elektronik”. Mungkin Original Intent-nya mengapa para pembuat undang-undang menggunakan istilah “Elektronik” karena dianggap elektronik lebih luas dan dapat mencakup digital. Akan tetapi kita juga harus berhati-hati karena ada potensi menimbulkan kebingungan di masa yang akan datang. Kita sudah pernah membahas masalah penggunaan kata “Elektronik” di post ini. Jangan lupa cekidot ya, Rencang. 😀
Governmental Ghosting
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan selaku instansi yang berwenang menyelenggarakan perpajakan pernah melakukan tarik ulur atas kebijakan Pengenaan Pajak Transaksi Elektronik/Digital ini. Bagaimana tidak, di periode pertama pemerintahan Joko Widodo tepatnya pada tahun 2018, Sri Mulyani pernah mengeluarkan peraturan menteri yang mengatur mengenai pajak atas transaksi elektronik. Akan tetapi ternyata banyak kritik bermunculan atas peraturan tersebut. Hingga akhirnya baru satu hari diterbitkan, peraturan menteri tersebut dicabut oleh Sri Mulyani keesokan harinya. Lucu bukan? Di periode kedua ini di tahun 2020, pemerintah lagi-lagi mencoba untuk mengeluarkan peraturan akan tetapi diselenggarakan secara bertahap. Tapi jika kita tarik ke belakang, sebenarnya pemerintah juga pernah memberlakukan pajak untuk e-commerce yang dikeluarkan pada 2013.
Sehingga kita dapat melihat fenomena inefektifitas pengenaan pajak transaksi elektronik/digital oleh pemerintah. Dengan adanya tarik ulur ini memperlihatkan bahwa pemerintah (atau bahkan perusahaan dan masyarakat sendiri) belum benar-benar siap “merogoh kocek sedikit lebih dalam” untuk membayar pajak kepada negara. Padahal, negara seharusnya sudah sangat tahu bahwa potensi ekonomi digital Indonesia sangat tinggi. Sudah banyak survey yang membuktikan dan bahkan Indonesia pernah menjadi negara percontohan ketika transaksi ekonomi digitalnya bertumbuh dengan amat pesat. Pada tahun 2018 saja, perputaran ekonomi digital Indonesia mencapai angka US$ 27 Miliar (sumber). Wow sekali bukan? Sangat menggiurkan pemerintah untuk membebani pajak kepada netizen.
Nah di beberapa post kedepan, kita akan membahas mengenai hal ini. Stay tune!
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya