Sandiwara Hukum Kasus Novel Baswedan
Setelah terombang-ambing selama hampir 3 tahun, kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan telah memasuki babak baru. Kini kasus tersebut telah melalui tahap sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pada 11 Juni 2020.
Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Fathoni menuntut dua orang terdakwa yaitu Rony Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang berstatus sebagai Brigadir Polisi nonaktif dengan ancaman 1 tahun penjara.
Rendahnya tuntutan JPU kepada dua orang terdakwa tersebut menuai kritik oleh berbagai kalangan, sebab proses peradilan tersebut dinilai janggal dan kurang merepresentasikan nilai-nilai keadilan. Bahkan hampir diseluruh platfom media sosial, netizen berbondong-bondong menyerukan tagar “tidak sengaja” sebagai bentuk sarkasme atau sindiran atas bobroknya proses penanganan kasus ini.
Pasal yang Dikenakan Kepada Terdakwa
JPU memberikan tuntutan dengan ancaman 1 tahun penjara dengan alasan bahwa tindakan kedua terdakwa tersebut hanya memenuhi unsur-unsur penganiayaan berencana yang mengakibatkan luka berat yang tercantum dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. JPU berpendapat bahwa tindakan kedua terdakwa tersebut tidak memenuhi unsur-unusr penganiayaan berat berencana yang tercantum dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.
JPU beralasan bahwa terdapat unsur ketidaksengajaan dalam kasus ini. Terdakwa Rahmat sejatinya hanya berniat untuk menyiramkan cairan tersebut kebadan Novel dengan tujuan memberikan pelajaran, namun secara tidak sengaja mengenai dan melukai mata novel yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50% sehingga tidak dapat memenuhi unsur dakwaan penganiayaan berat berencana.
Tanggapan Tim Advokasi Novel Baswedan
Tim Advokasi Novel Baswedan menganggap bahwa tuntutan JPU merupakan sebuah konfirmasi atas adanya sandiwara hukum yang selama ini dikawatirkan oleh masyarakat. Lebih lanjut, Tim Advokasi juga berpendapat bahwa tuntutan JPU tersebut tidak hanya merendahkan harkat dan martabat hukum di Indonesia, namun juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta dan keadilan secara materill, tuntutan JPU justru tidak dapat lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan.
Kejanggalan dalam Sidang Tuntutan
Sejak awal, Tim Advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam sidang tuntutan ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, tuntutan JPU seakan ingin menafikan realitas yang sebenaranya. Sebab, JPU hanya menuntut terdakwa dengan pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP terkait dengan penganiayaan berat. Padahal, secara logika hukum upaya penyiraman air keras oleh terdakwa baik itu sengaja atau tidak sengaja dan meskipun mengenai badan Novel Baswedan seperti niat awal yang dikemukakan oleh terdakwa, sejatinya tindakan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan karena berpotensi menimbulkan akibat yang lebih buruk, yaitu kematian terhadap korban. Sehinggga, JPU memilki opsi untuk mendakwa terdakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP terkait dengan pembunuhan berencana.
Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan oleh JPU di persidangan. Dalam kasus ini, setidaknya terdapat tiga orang saksi, yang seharusnya dapat dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan mengenai duduk perkara yang sebenarnya. Namun, JPU seakan menyepelekan keberadaan dan kehadiran saksi. Padahal, esensi dari hukum pidana adalah untuk menggali dan menemukan kebenaran secara materiiil, sehingga langkah JPU yang enggan menghadirkan saksi, secara jelas telah memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi dalam persidangan ini.
Ketiga, Salah Peran Penuntut Umum. Hal tersebut dapat di identifikasi secara singkat hanya dengan melihat tuntutan yang diberikan kepada terdakwa. Terlebih, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun JPU seakan-akan salah peran. Pada hakikatnya sebagai representasi negara dan korban JPU seharusnya lebih condong pada korban, akan tetapi dalam persidangan tersebut JPU justru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung menyudutkan korban. JPU seharusnya dapat melihat kejadian ini dengan utuh, bukan justru membuat perkara ini menjadi semakin keruh.
Oleh karena itu, dalam pernyataanya Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut tiga hal, yaitu: Pertama, Majelis Hakim diharapkan tidak turut serta dalam sandiwara hukum kasus novel ini dan harus melihat fakta sebenarnya secara objektif. Kedua, Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen. Ketiga, Komisi Kejaksaan harus menindaklanjuti pernyataan ini dengan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap JPU dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.
Perbandingan Kasus
Beda korban, beda terdakwa, beda pula proses hukumnya. Begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kasus Novel Baswedan dengan kasus penyiraman air keras yang menimpa Ni Luh Mita. Jika terdakwa pada kasus Novel di tuntut hukuman pidana penjara selama 1 tahun, I Gusti Agung Diah Dwi Rahayu selaku terdakwa dalam kasus penyerangan air keras terhadap Ni Luh Mita dituntut dengan hukuman pidana penjara selama 3,5 tahun. Padahal kalau melihat akibat terhadap korban hampir tidak ada perbedaan antara kasus Novel dengan Ni Luh Mita, karena tindakan terdakwa penyiraman air keras sama-sama mengakibatkan keduanya mengalami kebutaan pada sebelah matanya. Namun, jika menelaah dalam segi tuntutan dan proses persidangan sangat terlihat dengan jelas bahwa ada kejanggalan terkait kasus Novel Baswedan.
Kelogisan Tuntutan
Zaenur Rohman, selaku Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM beranggapan bahwa tuntutan 1 tahun ini sangatlah tidak logis, menghina akal sehat dan mencederai rasa keadilan di masyarakat. Lebih lanjut, Zaenur juga mengatakan bahwa tuntutan tersebut menunjukan bobroknya hukum di negeri ini.
Menurutnya, tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap Novel Baswedan adalah tindakan yang terencana. Dikatakan berencana karena sejak awal terdakwa telah menyiapkan air keras. Dalil JPU yang mengatakan terdakwa sebenarnya hendak mengenai badan tapi mengenai muka, menurutnya juga tidak logis. Bahkan Rohman menganggap bahwa dalil JPU tersebut telah mengejek akal sehat rakyat Indonesia, karena terdakwa ini merupakan anggota Polri yang memiliki keterampilan tinggi dan memiliki skill yang mumpuni.
Selain itu, Rohman juga berpendapat bahwa kasus ini penuh dengan sandiwara atau setting-an. Hal itu dikarenakan terdakwa dinilai hanya menyerahkan diri, tidak diburu oleh polisi. Lebih lanjut, aktor intelektual dan motif dalam kasus ini juga tidak diungkapkan secara jelas.
Rohman mengatakan terdakwa seharusnya dituntut sebagaimanai pasal 355 ayat 1 KUHP. Dikarenakan tuntutan ringan dalam penanganan kasus ini berpotensi menimbulkan dampak negatif lain pada penegakan hukum di masa depan, antara lain: Pertama, mencederai rasa keadilan masyarakat dan preseden buruk. Kedua, Aparat penegak hukum khususnya KPK semakin rentan terhadap serangan. Ketiga, Tidak ada lagi yang khawatir dengan konsekuensi hukumnya. Keempat, Terjadi disparitas dengan kasus-kasus penganiayaan lainnya.
demikianlah pembahasan saya terkait bagaimana “Sandiwara Hukum Kasus Novel” ini, apabila ada pertanyaan silahkan hubungi kami di icon Whatsapp yang ada di pojok kiri bawah layar kamu.
#terbaiktercepatterpercaya
#klinikhukumterpercaya
#semuaadajalannya