GAds

Sertifikasi Halal Dinilai Hambat Perdagangan, Apa Kata Amerika Serikat?

Sertifikasi Halal Dinilai Hambat Perdagangan, Apa Kata Amerika Serikat?

Beberapa waktu terakhir, kebijakan halal Indonesia kembali jadi sorotan dunia internasional. Pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa aturan wajib sertifikasi halal yang diterapkan Indonesia bisa menghambat masuknya produk-produk asal AS ke pasar Tanah Air. Pernyataan ini muncul dalam laporan tahunan berjudul National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Menurut AS, aturan sertifikasi halal di Indonesia terlalu rumit dan memakan biaya tinggi, terutama untuk pelaku usaha luar negeri. Mereka khawatir aturan ini justru jadi penghalang bagi produk ekspor mereka.

Apa Saja yang Dikeluhkan AS?

AS menyatakan bahwa ketentuan regulasi halal di Indonesia menjadi salah satu hambatan perdagangan. Terdapat beberapa alasan mengapa AS menyatakan bahwa sertifikasi halal merugikan mereka, yaitu:

Biaya dan proses yang rumit

Untuk mendapatkan sertifikasi halal dari Indonesia, produsen luar negeri harus melalui audit fasilitas produksi. Proses ini biasanya dilakukan langsung oleh LPH dari Indonesia, dan tentu saja, biayanya tidak sedikit. Bahkan bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Pengakuan lembaga halal terbatas

Sertifikat halal dari luar negeri belum tentu langsung diakui di Indonesia. Lembaga sertifikasi halal asing harus lebih dulu menjalin kerja sama resmi (MRA) dengan pihak Indonesia agar sertifikatnya bisa dianggap sah. Proses ini dianggap memakan waktu dan menyulitkan eksportir.

Cakupan aturan yang semakin luas

Sertifikasi halal di Indonesia tidak hanya untuk makanan dan minuman. Secara bertahap, aturan ini akan mencakup kosmetik, obat-obatan, dan produk lainnya. Kondisi demikian dinilai makin memperbesar beban bagi pelaku usaha dari luar negeri.

Dalam pernyataan yang disampaikan oleh AS, Indonesia banyak membuat kebijakan dan regulasi baru tentang Jaminan Produk Halal yang sudah diberlakukan sebelum diberitahukan rancangan peraturannya kepada WTO. Jadi AS menganggap bahwa kebijakan di halal di Indonesia terlalu dinamis.

Faktanya, Indonesia memang telah mengubah kebijakan dan regulasi yang cukup banyak dalam 5 tahun terakhir, di antaranya adalah:

BPOM No. 12/2019 dan Kebijakan Bea Cukai

Dalam Per-BPOM tersebut menetapkan standar pengujian yang lebih ketat untuk logam berat dalam kosmetik dan setiap pengiriman harus diuji ulang.

Keputusan Menteri Agama (KMA) No, 748/2021

Dalam KMA tersebut menetapkan berbagai jenis produk yang wajib memiliki sertifikasi halal mulai dari kosmetik, produk rekayasa genetik, bahan kimia, obat-obatan, barang konsumsi, dan produk biologi.

KMA No. 1360/2021

Menerbitkan daftar “positif halal” yang mencakup makanan, zat aditif, bahan, dan material lainnya yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal yang bersifat dinamis.

BPJPH Regulation No.3/2023

Mengatur tentang akreditasi lembaga sertifikasi halal asing (HCBs) yang ingin menerbitkan sertifikasi halal bagi produk dari AS

KMA No.944/2024

Dalam KMA tersebut terdapat pembaruan terkait cakupan aturan halal untuk kategori makanan dan minuman

KMA No. 816/2024

Dalam KMA tersebut menentukan produk makanan dan minuman berdasarkan HS Code yang wajib memiliki sertifikat halal

Bagaimana Tanggapan Indonesia?

Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa aturan halal dibuat untuk melindungi konsumen, khususnya masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas. Sertifikasi ini jadi jaminan bahwa produk yang dikonsumsi sesuai dengan prinsip halal yang berlaku.

Meski begitu, pemerintah juga menyadari pentingnya menjaga hubungan dagang yang baik. Karena itu, Indonesia memberikan masa transisi hingga Oktober 2026 bagi produk-produk impor (kecuali daging dan susu) untuk memenuhi persyaratan halal. Selain itu, beberapa aturan administratif juga sudah disederhanakan, seperti penghapusan persyaratan apostille.

Menjaga Keseimbangan: Perlindungan Konsumen vs Perdagangan Bebas

Perbedaan pandangan ini sebenarnya wajar. Di satu sisi, Indonesia punya hak untuk melindungi konsumennya dan menjaga kedaulatan kebijakan dalam negeri. Tapi di sisi lain, mitra dagang seperti AS juga punya kepentingan agar perdagangan tetap lancar tanpa terlalu banyak hambatan.

Kuncinya adalah komunikasi dan kerja sama. Indonesia bisa tetap konsisten menjaga standar halal, tapi juga terbuka dalam membangun sistem yang lebih efisien dan transparan bagi pelaku usaha asing. Sementara itu, negara-negara lain juga perlu memahami bahwa kebijakan ini lahir dari kebutuhan domestik, bukan semata-mata untuk membatasi impor.

 

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?