GAds

Start-Up: Badan Usaha Baru?

Dewasa ini, model usaha Start-Up semakin populer digunakan khususnya oleh kaum kawula muda sebagai bagian dari generasi milenial. Start-Up sebenarnya sama saja dengan perusahaan yang baru berdiri, namun memiliki ciri khas tersendiri yang karakteristiknya tidak hanya datang sebagai perusahaan yang sedang merintis namun dalam operasionalnya bergantung pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi inilah yang menjadi titik tumpu, modal dan bekal awal Start-Up untuk berkompetisi melawan perusahaan konvensional yang sudah eksis di pasar sebelum kehadiran Start-Up.

Start-Up seringkali diidentikkan dengan anak muda terutama generasi milenial karena generasi ini memang lahir dalam momentum perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sedang terjadi. Generasi milenial yang lahir pada tahun 90’an dimana pada saat itu, alat komunikasi seperti telepon genggam dan komputer berkembang dengan cepat dan mulai mengubah gaya hidup masyarakat. Ketergantungan generasi milenial akan penggunaan gawai bukan hanya dimanfaatkan untuk gaya hidup yang konsumtif, namun kreatifitas tanpa batas mendorong generasi milenial memanfaatkan alat komunikasi untuk tujuan yang lebih produktif salah satunya turut serta membangun ekonomi digital.

Ekonomi digital merupakan perputaran ekonomi yang menggunakan teknologi sebagai sarananya. Banyak inovasi-inovasi berbasis teknologi yang berkembang dewasa ini, baik menggunakan website maupun aplikasi di gawai. Platform E-Commerce atau perdagangan elektronik merupakan salah satu dampak positif dari perkembangan teknologi yang mendorong produktifitas masyarakat. Dengan adanya E-Commerce, masyarakat yang terlibat dalam proses jual beli tidak perlu lagi bertemu secara langsung dalam proses transaksinya. Praktis, keberadaan E-Commerce memudahkan gaya hidup manusia karena dapat mengatasi masalah jarak dan waktu. Begitu pula dengan ditemukannya proses transaksi lain yang sedang dikembangkan dalam bentuk digital, membuat transaksi dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, hanya melalui sentuhan tangan. Misalnya di bidang keuangan, dikenal istilah Financial Technology atau yang ditransliterasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Inovasi Keuangan Digital.

Start-Up yang ada dan tumbuh serta berkembang akhir-akhir ini merupakan usaha yang bergerak di bidang pengembangan gaya hidup berbasis digital termasuk Financial Technology. Misalnya Doku, Dana, Dompetku, Ovo merupakan Start-Up yang bergerak dibidang penyediaan layanan pembayaran secara daring (Online) atau disebut dengan Payment Gateway. Sedangkan Start-Up seperti Cicil, Akulaku dan Kredivo bergerak di bidang Peer-to-Peer Lending atau sistem pinjam-meminjam dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Terdapat juga Start-Up yang memiliki visi menghimpun dana investasi dari investor-investor lokal atau individu guna pengembangan suatu produk baik berupa barang ataupun jasa seperti Akseleran dan Gandeng Tangan. Selain Start-Up yang bergerak demi keuntungan (Profit Oriented), terdapat juga beberapa Start-Up yang ternyata bergerak di bidang sosial seperti Kita Bisa yang menjadi wadah donasi bagi pihak yang terkena kondisi yang kurang beruntung, terkena bencana atau kemalangan. Adapun Kolase merupakan Start-Up yang bergerak di bidang semi sosial, karena menjadi wadah yang memfasilitasi para donatur memberikan donasi kepada seniman sebagai bentuk apresiasi dan dukungan finansial agar seniman tetap semangat dalam berkarya. Beberapa Start-Up juga bergerak dibidang investasi dengan cabang yang unik seperti Croowd yang bergerak di bidang investasi berbasis syariah. Start-Up seperti Infovesta merupakan Start-Up yang bergerak di bidang penelitian keuangan (Financial Research). Sedangkan untuk kebutuhan kebutuhan keuangan tersier seperti asuransi secara daring juga telah dijalankan oleh beberapa contoh Start-Up seperti Raja Premi, Premi Kita, Premiro, Pasar Polis, Cek Premi dan lain sebagainya.

Selain Start-Up yang telah disebutkan diatas yang bergerak di bidang keuangan, terdapat juga Start-Up yang berusaha memenuhi gaya hidup masyarakat. Misalnya dalam bidang transportasi dan akomodasi, terdapat PegiPegi, Tiket.com, hingga Start-Up yang telah mencapai level Unicorn yang telah memiliki valuasi atau kapitalisasi perusahaan lebih dari $1 Milyar yaitu Traveloka. Contoh Start-Up lain yang bergelar Unicorn adalah Tokopedia dan Bukalapak yang menjadi marketplace bagi perdagangan elektronik (E-Commerce) di Indonesia, bersaing dengan beberapa Start-Up Marketplace lain baik lokal maupun mancanegara  seperti Lazada, OLX, Bli-Bli, Blanja, dan lain sebagainya.

Ruang Guru merupakan Start-Up di bidang pendidikan secara daring (Edutech) yang diprediksi akan mendapatkan gelar Unicorn dalam waktu dekat. Start-Up dengan level diatas Unicorn yaitu level Decacorn dengan nilai atau valuasi perusahaan lebih dari $10 Milyar seperti Go Jek merupakan Start-Up yang bergerak di bidang pemenuhan transportasi lokal (ojek), bersaing dengan Start-Up asing dengan bidang serupa yaitu Grab. Masih banyak lagi perusahaan-perusahaan berbasis Start-Up yang bergerak di berbagai bidang yang tidak dapat dikategorisasi karena setiap Start-Up memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan Start-Up lain. Menurut Direktur Industri, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Leonardo Adypurnama Alias Teguh Sambodo, terdapat sekitar 992 Start-Up yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia hingga bulan Agustus 2019, yang mana didominasi oleh bidang Marketplace yang jumlahnya mencapai 352 perusahaan.

Di tengah kemunculan ratusan perusahaan dengan model bisnis Start-Up itu, bentuk legalitas usaha dan skema perizinan merupakan hal yang menarik untuk dipikirkan bersama-sama mengingat peradaban mulai diambil alih oleh Generasi Milenial yang mendominasi tumbuh kembang perusahaan Start-Up. Konstruksi dari model Start-Up sebenarnya dibangun berdasarkan pemikiran para Generasi Milenial yang lebih mementingkan kolaborasi, tidak seperti karakteristik dari generasi sebelumnya yang menyukai kompetisi. Selain itu, perusahaan Start-Up mencoba untuk menantang perusahaan petahana melalui inovasi-inovasi yang bersifat “disruptif” yang mengganggu eksistensi produk-produk konvensional yang belum tersentuh atau minim sentuhan teknologi. Momentum Revolusi Industri 4.0 menjadi trigger Generasi Milenial untuk membuat inovasi demi merajai pasar.

Sayangnya aspek legalitas masih dipandang sebelah mata oleh para pihak baik dari pemerintah maupun pelaku usaha itu sendiri. Fenomena kemunculan Start-Up yang bagaikan cendawan di musim hujan, akan berbahaya jika tidak diimbangi dengan pemenuhan aspek legalitas usaha dan justru dapat mendagradasi potensinya di tengah-tengah masyarakat. Akan ada banyak risiko, permasalahan dan potensi problematika yang potensial terjadi apabila aspek legalitas dikesampingkan dalam proses perintisan usaha dan pengembangan inovasi oleh perusahaan-perusahaan dengan model Start-Up.

Di sisi lain, perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang akseleratif, seharusnya dapat memicu pengaruh positif terhadap momentum Society 5.0 juga. Start-Up sebagai model usaha baru memiliki prospek pengembangan yang potensial karena membawa inovasi-inovasi baru yang memudahkan gaya hidup masyarakat. Sehingga ide dan gagasan yang dikembangkan oleh Generasi Milenial melalui wadah Start-Up seringkali diminati oleh investor baik lokal maupun mancanegara untuk mengucurkan dana investasi sebagai modal untuk mengembangkan inovasi tersebut karena diproyeksikan dapat memicu ketergantungan pola hidup masyarakat akan inovasi tersebut. Model bisnis Start-Up juga tidak memerlukan operasionalisasi perusahaan yang besar karena dalam momentum Revolusi Industri 4.0 bukan diukur dari seberapa besar aset perusahaan seperti gedung yang dimiliki oleh suatu perusahaan, melainkan seberapa kuat perusahaan Start-Up tersebut berinovasi untuk bertahan dalam kondisi pasar yang ekstrim. Perusahaan Start-Up bahkan mungkin dapat tidak memiliki bangunan kantor yang tetap, namun hanya perlu menyewa alamat virtual seperti Coworking Space. Perusahaan Start-Up berbekal Personal Computer sudah lebih dari cukup untuk mengoperasionalkan suatu perusahaan dari hulu ke hilir, khususnya untuk sektor jasa berbasis digital.

Begitu juga dengan manajemen internal Perusahaan Start-Up memiliki ciri dan karakteristik yang unik dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Perusahaan Start-Up sebagai perusahaan yang baru merintis pada awalnya hanya memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi untuk berinovasi atas produknya. Kemudian Perusahaan Start-Up akan mengikuti inkubasi bisnis sebagai bentuk penyerapan edukasi dari komunitas bisnis yang menaunginya. Selanjutnya personalia Perusahaan Start-Up akan melakukan Pitching untuk menarik investor yang akan membiayai pengembangan produknya. Pada umumnya investor akan memberikan kucuran dana yang besar bagi Perusahaan Start-Up. Inilah yang menjadi karakteristik Perusahaan Start-Up, yaitu perusahaan yang tidak memerlukan modal besar dalam pembuatannya namun dalam perjalanannya dapat berkembang dengan sangat cepat melalui investasi yang disuntikkan investor sebagai bentuk dana pengembangan atas inovasi-inovasi menarik yang diproyeksi dapat mengubah gaya hidup masyarakat dengan inovasi tersebut serta diharapkan dapat memancing keuntungan yang besar dari pemanfaatan inovasi itu.

Ciri khas lainnya adalah apabila dalam skema bisnis investasi untuk perseroan terbatas pada umumnya, investor akan bertindak dengan mengakuisisi atau mendapat sebagian kepemilikan dari suatu perusahaan yang diberikan investasi. Investor duduk sebagai RUPS atau Rapat Umum Pemegang Saham. Sesuai dengan kewenangan RUPS yang secara teori merupakan penguasa paling tinggi yang dapat menentukan arah kebijakan perusahaan, mengambil keputusan bahkan dapat mengubah posisi struktural internal perusahaan. Hal tersebut juga merupakan bagian dari manajerial perusahaan yang diatur secara normatif dalam hukum positif Indonesia misalnya di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan beberapa peraturan perundang-undangan lain.

Namun dalam model bisnis Start-Up, investor tidak selalu menggunakan kewenangan tersebut walaupun telah diberikan oleh hukum sekalipun. Investor, baik duduk sebagai RUPS maupun bertindak sebagai sponsor cenderung membiarkan Founder atau Chief Executive Organizer (CEO) tetap dalam struktur awalnya. Hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan sistem koordinasi awal yang memicu produktifitas dalam struktural jika dibandingkan mengutak-ngatik kepengurusan perusahaan. Investor memahami bahwa sulit membentuk chemistry atau ikatan apabila kepengurusan yang lama diubah dan para pengurus harus menyesuaikan diri kembali dengan struktur manajerial baru. Belum lagi jika orang yang ditempatkan dalam struktur manajemen perusahaan adalah orang baru yang sebelumnya tidak bergabung dalam internal perusahaan, para pengurus lama selaku penelur ide dan inovasi akan kesulitan beradaptasi dengan pengurus baru.

Investor memahami betul kondisi tersebut, karena pengurus lama biasanya lebih nyaman bekerja dengan rekan-rekan pertamanya. Perusahaan Start-Up juga biasanya didirikan oleh beberapa orang yang sebelumnya memiliki ikatan dekat. Entah ikatan teman, sahabat, keluarga, atau rekan-rekan sepermainan. Sehingga berdasarkan ikatan tersebutlah, para pengurus sudah saling memahami karakter dan sifat masing-masing. Mempertahankan kondisi tersebut merupakan keputusan yang diambil oleh investor Start-Up alih-alih mengganti kepengurusan perusahaan. Karena dalam kondisi tersebut akan meningkatkan produktifitas usaha dan memicu timbulnya ide dan inovasi-inovasi baru yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan bertahan di tengah persaingan pasar yang ketat.

Rigiditas struktural dengan mempertahankan posisi pengurus pertama juga akan memberikan dampak positif ketika terjadi perselisihan internal diantara para pengurus karena sudah memahami satu sama lain, sehingga para pengurus dapat mencari cara terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Para pihak biasanya akan saling berkompromi demi kemajuan perusahaan sehingga tidak memerlukan mekanisme hukum nan formal seperti mediasi, arbiterase bahkan hingga ke meja hijau pengadilan. Kondisi tersebut tentu saja menguntungkan bagi perusahaan karena tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan manajemen internal perusahaan, para pihak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya.

Sehingga disini terlihat banyaknya perbedaan skema antara model bisnis Start-Up dengan jenis perusahaan lain. Start-Up selama ini masih digolongkan sebagai UMKM apabila belum mengalami perkembangan yang signifikan, padahal kedua bentuk entitas bisnis tersebut memiliki paradigma yang berbeda. UMKM cenderung masuk sebagai pendatang baru yang mempertahankan produk-produk yang telah ada, namun biasanya dibentuk dengan modal yang minimal. Sedangkan Start-Up mengemban misi untuk mendestruktif produk yang sudah ada dengan menyajikan banyak inovasi-inovasi baru yang dapat mempermudah pola hidup masyarakat. Di sisi lain, Start-Up yang telah melesat atau Running dengan cepat seringkali diidentikkan dengan perseroan terbatas. Padahal dalam manajemen internal perusahaan Start-Up memiliki perbedaan yang signifikan, terlihat dari peran investor yang pasif dan cenderung menyerahkan komando perusahaan kepada para pengurus pertama seperti Founder dan CEO dengan tujuan mempertahankan produktifitas dan kreativitas yang dapat menguntungkan perusahaan.

Terlihat dari adanya perbedaan tersebut, seharusnya Start-Up menjadi entitas bisnis yang berbeda dibandingkan dengan UMKM maupun perseroan terbatas. Pembedaan tersebut seharusnya bukan saja diakui secara konsep atau skema bisnis, namun juga secara formal dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Merujuk pada pembahasan mengenai ekonomi digital, Start-Up yang muncul dewasa ini seringkali berinovasi di bidang keuangan khususnya secara digital. Sehingga melakukan formalisasi bentuk Start-Up sebagai badan usaha baru diharapkan dapat menstimulasi inovasi para generasi milenial yang haus akan ide segar dan baru yang luarannya berdampak positif pada ekonomi digital.

Merujuk pada data, berdasarkan statistika yang dihimpun oleh Google dan Temasek, memperlihatkan bahwasannya perputaran uang aktivitas perekonomian secara digital di Indonesia mencapai angka US$ 27 Miliar pada tahun 2018, mengalami peningkatan yang tajam hingga 49% sejak tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi digital yang akseleratif itu membuat Indonesia menempati negara pertama di Asia Tenggara yang pertumbuhan ekonomi digitalnya meningkat tajam. Dengan adanya rekognisi Start-Up sebagai badan usaha atau bahkan badan hukum baru, diharapkan andil masyarakat Indonesia dalam upaya meningkatkan perekonomian digital tidak hanya sebatas dari sisi konsumtif, tapi juga produktif melalui pendirian dan penggerakan badan usaha berbentuk Start-Up.

Start-Up yang diakui secara formal dalam bentuk badan usaha baru yang membedakan dengan PT maupun UMKM karena pendirian Start-Up tidak perlu dana besar namun memiliki salah satu tujuan mendapat investasi melalui Pitching sebagai sarana permodalannya. Dengan pengakuan Start-Up yang secara formal merupakan badan usaha, juga dapat meningkatkan kepercayaan investor bahwa Start-Up bukan hanya bisnis untuk mengusahakan produk yang sudah ada, namun memperjuangkan inovasi yang disruptif. Sehingga dengan meyakinkan investor, dapat mempercepat iklim investasi bagi perusahaan Start-Up yang diharapkan dapat diakui sebagai badan usaha secara hukum, serta diharapkan dapat turut andil mendukung peningkatan perekonomian digital masyarakat.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?