Qaidah membedakan dzat halal (boleh), haram (tidak boleh),dan syubahat (meragukan) dalam ajaran Islam merupakan keilmuan yang penting dipahami setiap pemeluknya. Makanan yang dimaksud halal dzatnya dalam aturan syariat ialah sepanjang tidak bersifat haram.. Adapun kewajiban mengkonsumsi pangan yang memenuhi Proses Produk Halal bagi umat Islam ini telah disebut dalam
QS Al-Maidah: 88 artinya
“Makanlah makanan yang halal lagi baik”
dan QS. Al-Baqarah: 173 artinya
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah...”.
Konsumen (utamanya masyarakat beragama Islam) menaruh perhatian tinggi dalam memastikan halal atau tidaknya pangan yang dikonsumsi. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penetapan kehalalan suatu produk pangan tidak lagi mudah dan sederhana. Produk pangan utamanya yang diimpor dari Negara dengan penduduk mayoritas non-Muslim, dalam syariat dapat dikategorikan dalam kelompok musy-tabihat (syubahat) atau meragukan, sekalipun bahan bakunya dan bahan tambahan berupa barang suci dan halal. Sebab tidak menutup kamungkinan dalam proses pembuatan tercampur antara bahan yang halal dan yang haram, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk dapat dibuktikan dengan terbitnya Sertifikat Halal, hal ini diatur dalam muatan UU JPH beserta peraturan turunannya. Jika dalam artikel sebelumnya, telah diulas mengenai daftar bahan-bahan yang termasuk kategori produk halal. Maka selanjutnya Proses Produk Halal (PPH) dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup (1) penyediaan bahan, (2) pengolahan, (3) penyimpanan, (4) pengemasan, (5) pendistribusian, (6) penjualan, dan (7) penyajian produk (Pasal 1 Angka 3 UU JPH). Terhadap lokasi, tempat dan alat dalam Proses Produk Halal diatur agar dipisahkan dengan lokasi, tempat dan alat produk tidak / non halal (Pasal 21 ayat (1) UU JPH). Lokasi, tempat dan alat dalam Proses Produk Halal oleh undang-undang ini diwajibkan agar:
- Dijaga kebersihan dan higienitasnya
- Bebas dari najis. (Najis dalam ajaran syariat dapat diartikan sebagai kotoran yang melekat pada benda, pakaian atau tempat yang menjadi penghalang untuk beribadah. Najis sendiri terbagi menjadi empat jenis yakni najis mukhaffafah ( ringan), najis mutawassitah (biasa/sedang), najis mughallazhah (berat) dan najis mafu (najis yang tidak wajib dibersihkan atau disucikan)
- Bebas dari Bahan tidak halal (terhadap kategori produk dengan bahan tidak / non halal secara umum disebut dalam Pasal 17 ayat (1) UU JPH)
Jika Anda adalah Pelaku Usaha dibidang kelompok penyembelihan hawan (baik ternak maupun unggas) maka terhadap lokasi penyembelihan, secara khusus diatur untuk wajib dipisahkan dengan bahan tidak halal (Pasal 43 ayat (3) PP 31/2019). Lokasi penyembelihan yang dimaksud dalam peraturan ini wajib memenuhi persyaratan:
- Terpisah secara fisik antara lokasi rumah potong hewan halal dengan lokasi rumah potong hewan tidak halal:
- Dibatasi dengan pagar tembok paling rendah 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat, dan Produk antarrumah potong;
- Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan kontaminan lainnya;
- Memiliki fasilitas penanganan limbah padat dan cair yang terpisah dengan rumah potong hewan tidak halal;
- Konstruksi dasar seluruh bangunan harus mampu mencegah kontaminasi; dan
- Memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas dan daging.
Penjelasan qaidah kewajiban memisahkan tempat dan alat Proses Produk Halal diatur secara lebih rinci dan lengkap dalam PP 31/2019 sebagai peraturan pelaksana UU JPH. Kewajiban pemisahan tempat dan alat dengan bahan tidak halal dalam aturan ini secara umum meliputi (Pasal 43 ayat (4)):
- Penyembelihan
- Pengolahan
- Penyimpanan
- Pengemasan
- Pendistribusian
- Penjualan
- dan Penyajian.
Disebutkan sebelumnya, jika Negara menjamin kepastian hukum akan kehalalan suatu produk (barang/jasa) dengan menerbitkan Sertifikasi Halal. Sebagai pelaku usaha atau perusahaan, syarat dalam memperoleh Sertifikat Halal ialah dengan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) dengan status minimum B (SK Direktur LPPOM MUI Nomor: SK 13/Dir/LPPOM MUI/III/13 tentang Ketentuan Sistem Jaminan Halal). Penyusunan Sistem Jaminan Halal (SJH) bertujuan menjaga kesinambungan Proses Produk Halal sesuai dengan persyaratan LPPOM MUI yang tercantum pada HAS 23000:1 Kriteria Sistem Jaminan Halal.
HAS 23000 merupakan dokumen administrasi yang berisi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI. Adapun HAS 23000 terdiri dari 2 (dua) bagian yakni: “Bagian I tentang Persyaratan Sertifikasi Halal : Kriteria Sistem Jaminan Halal (HAS 23000:1)” dan “Bagian (II) tentang Persyaratan Sertifikasi Halal : Kebijakan dan Prosedur (HAS 23000:2)”. Ulasan lebih lanjut mengenai persyaratan, proses audit Sistem Jaminan Halal hingga prosedur penerbitan Sertifikasi Halal, akan kami bahas dalam artikel tersendiri.