GAds

Konsep Floating Tax pada Transaksi Digital

Konsep Floating Tax pada Transaksi Digital

Indonesia telah berkali-kali diterpa masalah ekonomi. Perekonomian mengalami volatilitas berkali-kali sebelum memasuki abad 21 yang kemudian cenderung stabil setelahnya (Indonesia Investment, 2020). Tapi, Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir 2019 memberi dampak buruk bagi perekonomian. Dilansir dari KataData (2022), Pandemi Covid-19 memukul mundur pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2020 hingga mencapai -2,07%. Padahal di tahun sebelumnya, pertumbuhan PDB Indonesia mencatatkan angka 5,02%. Efek domino yang ditimbulkan menjadikan tingkat pengangguran melambung sejalan dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja.

Saat ini, kondisi perekonomian berangsur-angsur membaik. Meskipun demikian, tetap diperlukan upaya-upaya untuk mengakselerasi pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara total dan merata. Pajak dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu sektor yang dapat dijadikan objek pajak yang efektif untuk dikenakan pajak adalah komoditas pada ekonomi digital. Walau menurut statistik sekitar 83,4% perusahaan startup digital terdampak secara negatif dan hanya 11,6% yang mengalami dampak positif serta sekitar 41,8% startup digital mengalami penurunan kondisi perusahaan, namun kondisi ekonomi digital sendiri mengalami tren positif karena dampak Pandemi Covid-19. Dengan situasi yang diselimuti ancaman Covid-19 yang disebabkan oleh Virus Corona memaksa masyarakat lebih sering menghabiskan waktunya di kediaman masing-masing. Seiring dengan kondisi Kenormalan Baru yang telah dibiasakan untuk menjadi gaya hidup tersebut, konsumsi konten digital menjadi semakin masif. Fenomena ini dituturkan oleh Hermawan Kartajaya selaku Founder and Chairman MarkPlus, Inc. (Kontan, 2020).

Aktivitas E-Commerce juga meningkat pesat. Tercatat bahwasanya perputaran uang aktivitas perekonomian secara digital di Indonesia mencapai angka US$ 27 Miliar pada tahun 2018, mengalami peningkatan yang tajam hingga 49% sejak tahun 2015 (Google dan Temasek, 2018). Pada tahun 2018, nilai ekonomi digital Indonesia tercatat mencapai angka US$ 70 Miliar dan bahkan diperkirakan mampu mencapai nilai US$ 146 Miliar pada 2025. Nilai investasi ekonomi digital Indonesia di sepanjang kuartal pertama 2021 mencapai US$ 4,7 Miliar dan telah melampaui nilai tertinggi selama empat tahun terakhir. Bahkan menurut Kementerian Keuangan (2022), nilai transaksi yang berputar pada sektor E-Commerce mencapai Rp. 401,25 Triliun dengan volume transaksi yang mencapai 1,73 Miliar transaksi. Hasil pungutan pajak tersebut akan memberikan kontribusi yang besar dan mampu mengakselerasi pemulihan perekonomian Indonesia. Potensinya sendiri diproyeksikan dapat mencapai angka Rp.3,63 Triliun untuk transaksi di marketplace saja.

Namun sayangnya berkaitan dengan hal ini, hingga sekarang belum terdapat kebijakan yang tegas bagi pemerintah untuk memungut pajak dari ekonomi digital tersebut secara masif. Dalam perkembangannya, Kementerian Keuangan Republik Indonesia pernah hampir menerapkan pajak transaksi E-Commerce melalui PMK-210/PMK.010/2018. (Diah Vitaloka Adam dan Intan Puspita Astin, 2019) Namun ternyata aturan tersebut ditarik kembali dan ditegaskan kembali oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani. Sehingga pajak transaksi untuk E-Commerce batal diberlakukan kembali di Indonesia. (iNews, 2019)

Beberapa kalangan seperti idEA menilai bahwa pemberlakuan pajak digital sebenarnya dapat direalisasikan dengan catatan diterapkan perlahan. Lompatan besar dilakukan oleh pemerintah pada 2020 yang mengeluarkan PMK Nomor 48/PMK.03/2020 untuk pengenaan pajak bagi produk digital. Pemerintah mengambil sikap dengan menerapkan pajak secara perlahan dan agar supaya tepat sasaran sehingga pajak online tidak diterapkan serentak untuk seluruh produk dan pelaku usaha. (Rewang Rencang, 2021) Kebijakan ini tidak menyasar pada PPN produk dengan penjualan minor. Menurut Peraturan DJP Kemenkeu Nomor 12 Tahun 2020, badan usaha akan ditunjuk sebagai pemungut PPN jika nilai transaksi dengan konsumen di Indonesia melebihi Rp 600 juta (US$42.000) per tahun atau Rp50 juta (US$ 3.500) per bulan, atau jika ada 12.000 pengunjung asal Indonesia di platform e-commerce mereka dalam 12 bulan, atau seribu pengguna dalam sebulan. (CIPS, 2021)

Hal ini memperlihatkan prospek yang besar yang mana menurut penulis, “sudah sewajarnya” pajak merambah pada transaksi digital. Di zaman yang telah mengalami digitalisasi ini, tidak berlebihan jika pajak juga diberikan sentuhan digital dalam artian bukan hanya sistemnya melainkan juga objek pajaknya. Namun menurut penulis, memukul rata kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% yang didasarkan pada UU No.7 Tahun 2021, akan tetapi bagi nilai transaksi elektronik bukan keputusan yang bijak. Walaupun menurut Menteri Keuangan kenaikan tersebut ditujukan untuk menutupi anggaran negara yang defisit selama Pandemi Covid-19 (Pajak.com, 2022), namun merujuk pada kalangan seperti idEA, pengenaan pajak bagi transaksi elektronik lebih baik dilakukan dengan perlahan untuk menghindari gejolak bagi pengguna layanan elektronik.

Saran penulis adalah menerapkan Floating Tax dimana prosentase  pengenaan pajaknya disesuaikan dengan nilai transaksi. Bagi transaksi yang kecil maka lebih baik diberikan pajak yang kecil. Semakin besar nilai transaksinya, semakin besar pula pengenaan pajaknya. Selain itu dapat juga mengambil parameter dari transaksi pada suatu platform elektronik. Sehingga diharapkan secara perlahan, pajak dapat merambah pada transaksi digital dan perlahan-lahan dapat diterapkan sekaligus untuk saat ini dapat membantu memulihkan ekonomi. Kedepan dapat menjadi pintu masuk untuk merambah ke aspek lain seperti NFT, Cryptocurrency, Metaverse, dan produk-produk digital lain melalui penyelenggaraan kebijakan perpajakan yang tepat sasaran dan tepat guna.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?