GAds

Konsep Wajib Pajak Prioritas

Konsep Wajib Pajak Prioritas

Siapa yang tidak mengetahui tentang Pajak? Pajak adalah “pemasukan” utama suatu negara. Pondasi tersebut tak lain dan tak bukan ditopang oleh dana yang secara kolektif dikumpulkan oleh masyarakat, seperti kita. Walaupun terdapat kaum-kaum yang denial dan tidak merasa wajib membayar pajak, namun secara tidak langsung pun mereka tetap membayar “pajak tidak sadar” seperti Pajak Pertambahan Nilai misalnya. Tidak mungkin kan kita nongkrong di cafe atau membeli sesuatu di minimarket namun nego untuk tidak membayar PPN? Apalagi jenis-jenis pajak yang lain seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penjualan Barah Mewah (PPnBM), bahkan bea materai yang sering dijadikan syarat untuk mengurus suatu dokumen pun tidak lepas dari namanya pajak. Jangan lupa masih ada pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral, pajak parkir, pajak sarang burung walet, dan masih banyak lagi (Pajakku, 2019). Eits, pajak jadian tidak termasuk dalam jenis pajak ya!

Ternyata cukup banyak pajak yang diberlakukan di Indonesia. Tidak heran, Indonesia (seharusnya) menjadi negara yang kaya raya dan sejahtera, jika tidak dikorupsi pemasukannya (ups!). Sampai-sampai muncul istilah “apa-apa di-pajek-in!”. Ketika masyarakat pada umumnya diwajibkan untuk membayar pajak, muncul unpopular opinion bahwa pajak hanyalah mencekik masyarakat miskin sehingga seharusnya diperuntukkan hanya untuk si kaya. Jika dipikir-pikir, pendapat tidak biasa tersebut ada benarnya. Sudah seyogyanya pajak diberlakukan untuk “orang berduit” daripada masyarakat menengah kebawah yang mungkin hanya dapat merencanakan hidup untuk besok dan maksimal satu bulan kedepan. Tapi terlepas dari opini tidak biasa tersebut, memang dengan bernaung di suatu negara termasuk Indonesia, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk menyokong perekonomian nasional dengan berkontribusi membayar pajak. Sampai muncul kata-kata “Orang Bijak Taat Pajak” hingga “Pajak Dari, Oleh dan Untuk Rakyat”.

Namun juga perlu diingat bahwa kontribusi tersebat pajak bisa jadi berasal dari orang berada dan bahkan super duper kaya hingga masyarakat sering menyebut dengan istilah “Crazy Rich”. Secara akademis, sebutan yang dipakai adalah High Net-Worth Individuals (HNWI). Dilansir dari Pluang (2020), HNWI adalah orang atau keluarga dengan aset likuid di atas angka tertentu. Jika ditransliterasikan dapat menggunakan istilah Individu dengan Kekayaan Bersih Sangat Tinggi, yang mana minimal kekayaannya adalah US$ 5 Juta. Dalam peristilahan lain, terdapat pula sebutan Ultra High Net Worth Individuals atau UHNWI yang memiliki kekayaan minimal US$ 30 Juta yang mana di Indonesia menurut Databoks (2022) mencapai 1.403 orang pada tahun 2021. Mengapa muncul istilah yang berbeda-beda? Karena HNWI sendiri tidak memiliki kriteria yang pasti dan pakem. Tidak ada definisi, kategorisasi, patokan jumlah kekayaan bersih atau kepemilikan aset likuid dalam jumlah tertentu. Setiap lembaga keuangan, wilayah bahkan negara dapat memiliki kriteria masing-masing.

Tidak heran jika orang-orang yang termasuk HNWI ini diincar oleh entitas-entitas keuangan, tak terkecuali oleh instansi publik yang menyelenggarakan perpajakan dan apapun yang berkaitan dengan pemasukan negara. Melalui transaksi keuangannya maupun riwayat finansialnya, menjadi prospek tersendiri untuk diberdayakan sebagian prosentase kekayaannya untuk pemasukan negara. Maka memang muncul pendapat seperti yang diutarakan oleh Prof. Rhenald Kasali yang menyatakan bahwa orang kaya yang sesungguhnya justru tidak akan melakukan Flexing karena kegiatan tersebut justru dapat mendatangkan tagihan yang lebih besar dari instansi perpajakan.

Menurut DDTC (2020), tidak mudah untuk memajaki HNWI. Hal tersebut diluar dari mereka yang masuk sebagai segmen pembayar pajak terbesar, namun HNWI ini sendiri rentan terhadap perilaku perencaan pajak yang agresif atau perilaku menghindari pajak. Praktik penghindaran pajak masih dilakukan karena adanya pepatah kuno yang menyatakan “tak seorang pun suka membayar pajak”. Banyak cara dilakukan wajib pajak dalam menghindari pajak. Cara yang dilakukan antara lain Pinjaman ke bank yang nominalnya besar, Pinjaman ke bank yang nominalnya besar, Hibah, dan Pemanfaatan PP Nomor 23 tahun 2018 (DJP, 2020). Pun hal ini juga berkaitan dengan tidak mudahnya mempertahankan kekayaan yang telah didapatkan. Sindo (2022) secara futuristis mengkaji bahwa para HNWI belum tentu dapat menyalurkan kemampuan mereka dalam mencari mengelola keuangan kepada generasi penerusnya.

Maka bagaimana cara supaya HNWI ini lebih terbuka (setidaknya lebih meningkatkan kontribusinya dari segi perpajakan) untuk “mendonasikan” sebagian kekayaan mereka pada pendapatan negara? Menurut penulis, patut dicoba untuk “menyentuh hati” mereka dengan layanan yang lebih intim. Mungkin terdengar klise terutama jika dikaitkan dari sisi akademik, akan tetapi cara ini setidaknya berhasil diterapkan di institusi-institusi keuangan lainnya. Kita dapat mengintip layanan yang disebut “Nasabah Prioritas” yang pada umumnya merupakan fasilitas dari institusi perbankan. Dikutip dari Simulasi Kredit, nasabah prioritas ditujukan kepada mereka yang menginginkan prioritas dalam pelayanan. Bank-bank yang ada di Indonesia saling bersaing untuk memberikan pelayanan terbaik yang menyasar pada nasabah dengan perekonomian menengah ke atas. Meskipun begitu, tidak semua nasabah bisa menjadi nasabah prioritas. Setiap bank memiliki batas minimal tabungan agar seorang nasabah dapat dikategorikan sebagai nasabah prioritas.

Nah, layanan tersebut juga seyogyanya dapat diterapkan pada perlakuan pajak untuk para HNWI. Dengan menjadi apa yang penulis sebut sebagai “Wajib Pajak Prioritas”, mereka dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas secara prioritas mengingat kontribusi mereka yang besar terhadap pemasukan perpajakan di Indonesia. Fasilitas prioritasnya dapat berupa layanan publik prioritas entah mengurus dokumen tertentu, komplain fasilitas publik, atau sekedar menyelenggarakan hal-hal menarik seperti memberi bingkisan di momen tertentu contohnya ulang tahun seperti yang digiatkan oleh salah satu bank syariah di Indonesia. Hal ini sebagai bentuk apresiasi perpajakan terhadap para HNWI atas kontribusi mereka yang dapat mengakselerasi penerimaan perpajakan. Sehingga walaupun pada dasarnya pajak bukanlah penerimaan yang kontraprestasinya secara langsung dirasakan, akan tetapi khusus untuk HNWI ini agar mereka dengan rela “mengorbankan” sebagian uang mereka sebagai kewajiban untuk negara, ada baiknya mereka juga merasakan hak dalam bentuk apresiasi khusus. Juga mengingat bahwa kekayaan yang mereka miliki juga berasal dari jerih payah memeras keringat yang memerlukan tenaga, pikiran, waktu dan modal yang tidak sedikit. Sehingga wajar jika mereka layak diberikan perlakuan spesial sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi perpajakan yang mereka kucurkan untuk pemasukan negara.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?