Di dalam kerangka hukum positif Indonesia, negara memiliki seperangkat konfigurasi pengaturan tersendiri yang menaungi persaingan usaha. Di tingkatan politik hukum makro, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan norma yang sering menjadi acuan dalam hal persaingan usaha di Indonesia. Secara struktur, lembaga sentral yang berwenang menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan persaingan usaha adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang tidak hanya secara mangkus dan sangkil mengawasi persaingan usaha di Indonesia, tapi juga berperan memberikan regulasi teknis terkait dengan persaingan usaha.[1]
Track Record dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak diragukan lagi sebagai lembaga independen yang dalam proses menangani, menyelidiki, serta memutus suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun baik pemerintah ataupun pihak lain yang berkepentingan, meskipun pertanggungjawaban KPPU ditujukan kepada presiden sesuai amanah peraturan perundang-undangan. Tugas dan wewenang KPPU adalah sebagai lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan serta wasit independen dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Melalui wewenang yang dimilikinya, KPPU memiliki peranan yang besar dalam menjaga dan mendorong agar sistem perekonomian pasar lebih efisien dari segi produksi, konsumsi dan alokasi, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat turut meningkatkan kadar kesejahteraan masyarakat secara umum.[2]
Banyak kasus besar yang telah ditangani oleh KPPU sejak Undang-Undang Persaingan Usaha diberlakukan pada tahun 1999. Salah satu perkara yang disorot adalah penanganan kasus Temasek Group yang melalui anak perusahaannya di Indonesia yaitu STT dan Singtel yang masing-masing memiliki saham sebesar 41,49% di PT Indosat dan 35% di PT Teleksel. Temasek Group menjadi terlapor dari luar negeri yang diseret dalam perkara persaingan usaha tidak sehat karena melakukan kepemilikan silang terhadap dua operator seluler di Indonesia yaitu Telkomsel dan Indosat sehingga mengakibatkan dampak anti-persaingan usaha.[3]
Dunia saat ini sedang memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan adanya rekayasa intelegensia buatan (Artificial Intelligence / AI) atau yang sering disebut sebagai Internet of Things (IoT), dimana mengutamakan hubungan yang berkesinambungan antara digitalisasi dengan manajemen perusahaan berupa pengembangan interaksi yang kompleks antara manusia dengan teknologi.[4] Sebelumnya, terjadi Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan penyesuaian massal dan fleksibilitas manufaktur berbasis otomasi dan robot yang juga mempengaruhi produktifitas dalam dunia industri. Sebagai contoh Pabrik-pabrik dan mesin industri lebih memilih mesin dengan teknologi canggih ketimbang dengan kekuatan atau kemampuan manusia karena dari segi ekonomis mesin dengan teknologi canggih memiliki kemampuan berproduksi lebih berlipat, lebih cepat dan efisien, hanya dalam hitungan jam, banyak produk dihasilkan.[5]
Startup (Start Up / Start-Up) yang jika ditransliterasikan berarti perusahaan rintisan, ialah anak kandung dari momentum Revolusi Industri sebagai bentuk perusahaan dengan corak atau karakteristik tersendiri yang membedakan dengan perusahaan konvensional. Ukuran besar kecilnya perusahaan tidak menjadi jaminan, namun kelincahan perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi dengan cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Uber yang bersaing dengan pemain besar industri transportasi dan Airbnb yang bersaing dengan pemain utama di industri jasa pariwisata.[6] Terdapat setidaknya lima faktor yang dapat menentukan arah keberhasilan suatu perusahaan dengan model Start-Up, yaitu Business Model , Idea, Timing, Team, dan Funding.[7] Startup pada umumnya bergerak di bidang teknologi atau digital, yang mencoba untuk menyelesaikan masalah besar dengan skema perusahaan yang berukuran relatif kecil.[8]
Grab merupakan salah satu perusahaan Startup yang bergerak di bidang teknologi dengan fokus utama menyediakan layanan transportasi dan mempertemukan antara pemilik kendaraan sebagai mitra dan pengguna layanan.[9] Grab merupakan salah satu penyedia jasa (On Demand) transportasi di Indonesia selain saingannya yaitu Gojek. Grab sendiri adalah contoh layanan digital dalam momentum Revolusi Industri 4.0 yang pernah terjerat KPPU. Terdapat tiga pasal yang disangkakan kepada Grab dan PT TPI yaitu Pasal 14, Pasal 15 Ayat 2 dan Pasal 19 Huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[10]
Adapun uraian kasus posisi perkara PT Solusi Transportasi Indonesia atau Grab Indonesia sebagai terlapor 1 dengan PT Teknologi Pengangkutan Indonesia sebagai terlapor 2, berawal dari laporan para pengemudi taksi daring atau mitra individu Grab di Medan yang tergabung dalam Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) Sumatera Utara. Menurut Ketua DPD Oraski Sumut, David Siagian, Grab Indonesia melakukan diskriminasi perlakuan yang tidak adil kepada mitra individu atau mitra non-TPI serta memprioritaskan pengemudi yang tergabung dalam PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (PT TPI).[11] PT TPI adalah salah satu mitra pengemudi yang tergabung di dalam Grab Indonesia. Di bawah bendera PT TPI, terdapat juga supir atau pengemudi atas nama PT TPI yang secara tidak langsung juga menjadi mitra pengemudi Grab Indonesia. PT TPI merupakan perusahaan jasa rental mobil yang bekerjasama dengan Grab Indonesia yang menyelenggarakan program kendaraan rental atau penyewaan dengan kesempatan memiliki mobil bagi para supir atau pengemudinya. Kerjasama itu telah ada di beberapa kota besar di Indonesia dengan nama program berbeda-beda seperti Gold Captain, Gold Star, Flexi Plus, Green Line, dan lain sebagainya.[12]
Investigator KPPU, Dewi Sita, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 1 Oktober 2019, membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran (LPD) Perkara Nomor 13/KPPU-I/2019. Di bagian penelaahan pasar, investigator KPPU menemukan adanya keterkaitan pasar yang bersangkutan (Relevant Market) antara Grab Indonesia dan PT TPI. Dua perusahaan ini telah lama diincar KPPU. Grab sebagai penyedia aplikasi diduga memberikan perlakuan ekslusif terhadap mitra pengemudi di bawah naungan PT TPI yang menyewa kendaraan dari PT TPI.[13] Grab Indonesia dan PT TPI kemudian menunjuk Hotman Paris Hutapea sebagai kuasa hukum pihak terlapor yang akan mewakili para pihak terlapor dalam agenda persidangan di KPPU. Hotman Paris Hutapea menjadi pengacara pertama kalinya dalam pemeriksaan pendahuluan yang diselenggarakan pada tanggal 8 Oktober 2019.[14] Dalam sidang tersebut, Majelis Komisi terdiri dari Harry Agustanto, Afif Hasbullah dan Guntur S. Saragih. Grab dan PT TPI yang diwakili oleh Hotman Paris Hutapea menyampaikan tanggapan atas Laporan Dugaan Pelanggaran (LPD) Perkara Nomor 13/KPPU-I/2019 yang dibacakan oleh investigator penuntut pada sidang pemeriksaan pendahuluan sebelumnya.[15]
KPPU kemudian melalui putusannya menyatakan bahwa telah terdapat perjanjian antara Grab dengan PT TPI yang bertujuan untuk menguasai produk jasa penyediaan aplikasi angkutan sewa khusus berbasis teknologi di Indonesia dan mengakibatkan terjadinya penurunan prosentase jumlah mitra dan penurunan jumlah orderan dari pengemudi mitra non TPI. Terdapat praktik diskriminasi yang membedakan antara pengemudi PT TPI dengan pengemudi bukan dari PT TPI seperti pemberian order prioritas, masa suspend, dan fasilitas lainnya. Praktek tersebut telah mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap mitra non TPI dan mitra individu. Memperhatikan berbagai fakta dan temuan dalam persidangan Majelis Komisi memutuskan bahwa GRAB dan TPI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 14 dan 19 huruf “d”. Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi denda kepada Grab sebesar Rp 7,5 miliar untuk pelanggaran Pasal 14 dan Rp 22,5 miliar untuk pelanggaran Pasal 19 huruf “d”. Sementara PT TPI dikenakan sanksi denda sebesar Rp 4 miliar atas pelanggaran Pasal 14 dan Rp 15 miliar. Majelis Komisi juga memeritahkan agar para Terlapor melakukan pembayaran denda paling lambat 30 hari setelah Putusan memiliki kekuatan hukum tetap.[16]
Adanya putusan Grab tersebut mencerminkan terbuka lebarnya peluang penindakan persaingan usaha secara digital dalam momentum Revolusi Industri 4.0 ini oleh KPPU. Putusan ini dianggap akan mempengaruhi dinamika hukum terhadap ekonomi digital di masa yang akan datang dan akan mempengaruhi perkembangan serta investasi terhadap sektor strategis ini. Beberapa pakar dan pengamat Teknologi seperti Heru Sutadi (Direktur Eksekutif ICT) sebenarnya menyayangkan keputusan ini karena dianggap bahwa perbuatan yang terjadi tidak merugikan masyarakat. Akan tetapi sebenarnya berkaitan dengan persaingan usaha tidak hanya menyangkut mengenai kepentingan masyarakat akan tetapi juga eksistensi pelaku usaha lain. Karena apa yang dilakukan oleh Grab dan PT TPI disinyalir menimbulkan Hambatan Masuk Pasar. Hambatan masuk pasar atau Entry Barrier tersebut merupakan kondisi dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan yang memonopoli atau melanggar persaingan sehat tersebut karena pengusaan pangsa pasarnya yang besar. Dampak atau pengaruh negatif yang muncul adalah para pelaku usaha yang lebih kecil atau dalam ini adalah mitra pengemudi individu tidak diberi atau hanya memiliki sedikit kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Sehingga hanya akan menjadi bom waktu dimana terdapat suatu titik dimana para pelaku usaha akan menemui ajalnya satu-persatu.[17]
Kemudian selain layanan transportasi Online yang menjadi pertanyaan dikala momentum Revolusi Industri 4.0 ini adalah mungkinkah KPPU memasuki ranah persaingan usaha secara daring (Online) dan menjerat para pelaku usaha yang tidak hanya lebih sulit untuk mengetahui pasar yang bersangkutan akan tetapi juga harus berhadapan dengan anonimitas dunia maya.[18] Layanan elektronik sendiri merupakan layanan yang sangat bergantung kepada data seperti halnya karakteristik dari Revolusi Industri 4.0 sendiri seperti halnya pernyataan Judit Nagy[19]:
“The fourth industrial revolution is based on data. The way it can be gathered and analyzed, and used to make the right decisions and develop, has become a competitive factor. The source of competitive advantage, therefore, will not only be production on a coordinated or completely new basis (e.g., additive production), but also the embedding of products with digital services (e.g., in the event of a failure, the machine itself indicates which replacement part should be brought in), i.e., how companies filter the relevant information from the generated data in order to support decision-making.”
Adapun layanan elektronik yang paling umum ditemui adalah layanan yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan Startup seperti transportasi daring, layanan toko online (e-commerce)[20], layanan keuangan berbasis teknologi (Payment Gateway, Crowdfunding, Digital Banking, P2P Lending, Financial Product Analyst, dan lain sebagainya)[21]. Belum lagi layanan-layanan elektronik lain yang eksis semenjak Revolusi Industri 4.0 tercetus secara resmi seperti layanan pengiklanan[22] layanan sosial media[23], analisis atau pengolahan data[24], layanan pembuatan dan pengelolaan website, dan layanan-layanan elektronik lainnya yang memiliki diversifikasi sangat banyak, beragam dan bervariasi.
Dalam konteks E-Commerce sebagai permisalan, Dr. Sukarmi memberi analisa bahwa terdapat potensi perilaku anti-persaingan dalam jual beli daring. Walaupun lebih sulit lagi menentukan relevant market dalam E-Commerce, akan tetapi ditemukan potensi beberapa bentuk persaingan usaha yang tidak sehat seperti integrasi vertikal, dispresi dan diskriminasi harga, kemungkinan terjadinya posisi dominan bahkan monopoli dalam interkoneksi. Hukum positif mengenai persaingan usaha belum menjangkau hingga ranah E-Commerce yang memiliki kompleksitas dalam hal sistem pembayaran, validitas perjanjian elektronik, perbedaan alat bukti, dan lain sebagainya.[25] Maka yang paling tepat adalah memperbaharui kebijakan persaingan usaha untuk layanan elektronik yang dapat dipenetrasikan melalui revisi Undang-Undang Persaingan Usaha maupun pembentukan undang-undang baru. Walaupun sebetulnya, kasus Grab yang berawal dari pengaduan masyarakat merupakan gerbang masuk yang tepat bagi KPPU untuk mulai mengawasi penyelenggaraan persaingan usaha di sektor layanan elektronik. Menurut penulis, pengembangan pengawasan kelembagaan KPPU terhadap sektor layanan elektronik tidak hanya berawal dari pengaduan masyarakat akan tetapi dari dapat berasal dari inisiatif KPPU sesuai kewenangannya yaitu melakukan penelitian dugaan persaingan usaha tidak sehat[26] dalam ranah layanan elektronik. Untuk mendukung hal ini, menurut penulis KPPU perlu membentuk Satuan Petugas (Satgas) Siber seperti halnya Satuan Kerja yang berada di bawah Badan Resor dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) yaitu Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) yang bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber.[27]
Selain itu, KPPU juga mendapat tantangan berkaitan dengan yurisdiksi hukum mengingat konstruksi norma mengenai hukum mayantara (Cyber Law) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat berlaku melewati lintas batas negara dan menjerat Warga Negara Asing yang bahkan berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[28] Mengenai potensi ini, KPPU pernah memutus perkara kepemilikan saham silang yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yaitu Temasek Holdings yang secara tidak langsung memiliki saham dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia melalui perusahaan telekomunikasi Singapura yang juga dimiliki sahamnya secara dominan.[29] Melalui Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 dengan menggunakan prinsip wilayah objektif dan berdasar doktrin Single Economic Entity.[30] Dalam putusan juga disebutkan bahwa ruang lingkup hukum persaingan usaha yurisdiksinya dapat bersifat extra-territorial.[31] Sehingga bisa jadi walaupun penyelenggara layanan elektronik berada di luar wilayah Indonesia sekalipun, apabila dalam konteks persaingan usaha merugikan pelaku usaha di Indonesia maupun konsumen Warga Negara Indonesia terdapat kemungkinan tetap dijerat oleh KPPU.
Maka berdasarkan paparan diatas, sangat dimungkinkan bagi KPPU untuk merambah ke ranah penyelenggaraan layanan elektronik sebagai objek hukum yang dapat dijerat hukum persaingan usaha dengan pertimbangan utama kasus Grab sebagai gerbang pembuka pengaturan layanan elektronik atau layanan digital dalam konteks persaingan usaha yang hanya memerlukan penetrasi norma baru yang melengkapi norma yang telah ada serta disempurnakan dengan dibentuknya satuan petugas khusus untuk persaingan usaha siber. Selain itu mengenai permasalahan yurisdiksi, KPPU dapat menggunakan prinsip extra-territorial dalam beberapa perkara yang melibatkan konsumen atau pengguna layanan dari Indonesia serta terdapat indikasi merugikan pelaku usaha di Indonesia berdasarkan tinjauan dari relevant market yang tentu harus dilakukan dengan extra hati-hati dan extra cermat juga. Jika boleh menamai, penulis akan menyematkan istilah KPPU 2.0 bagi rekomendasi konsep ini.
[1] Yose Rizal Damuri, dkk., Peta Jalan Pengarusutamaan Persaingan Usaha, Penerbit Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 2016, Hlm.19-21.
[2] Asmah, Hukum Persaingan Usaha “Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia”, Penerbit Social Politic Genius (SIGn), Makassar, 2017, Hlm.65.
[3] Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktek serta Penerapan Hukumnya, Penerbit Kencana, Jakarta, 2014, Hlm.438.
[4] Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, Crown Publishing Group, New York, 2017, historical context page. dalam Banu Prasetyo dan Umi Trisyanti, Revolusi Industri 4.0 dan Tantangan Perubahan Sosial, IPTEK Journal of Proceedings Series, No.5 (2018), Hlm.22-27.
[5] Anik Ghufron, Suwarna, Sudiyatno, Sunaryo Sunarto, Sri Andyani, Bayu Rahmat Setiadi, Ima Ismara (Eds), Modernisasi Bengkel Laboratorium Kejuruan Abad 21, Penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2019, Hlm.156.
[6] Andreas Hassim, Revolusi Industri 4.0, diakses dari https://id.beritasatu.com/home/revolusi-industri-40/145390, pada 13 Oktober 2020, jam 08.38 WIB.
[7] Mardi Arya Jaya, dkk., Analisis Faktor Keberhasilan Start-Up Digital di Yogyakarta, Prosiding SNATIF Ke-4 (2017), Hlm.168. (ISBN : 978-602-1180-50-1)
[8] Doni Wijayanto, Legal Start-Up Business, Penerbit Metagraf, Solo, 2018, Hlm.3.
[9] Hendry E. Ramdhan, Startup Business Model, Penerbit Penebar Plus, Jakarta Timur, 2016, Hlm.214.
[10] Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI), Grab Hadiri Sidang Perdana di KPPU, diakses dari https://www.kppu.go.id/id/blog/2019/09/grab-hadiri-sidang-perdana-di-kppu/, diakses pada 14 Oktober 2020, jam 07.20 WIB.
[11] Budi Warsito, Sidang Grab di KPPU Berawal dari Laporan Driver Taksi Online Medan, diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4737876/sidang-grab-di-kppu-berawal-dari-laporan-driver-taksi-online-medan, diakses pada 14 Oktober 2020, jam 07.31 WIB.
[12] Herdi Alif Al Hikam, Terseret Perkara Grab di KPPU, Siapa Sih PT TPI?, diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4739134/terseret-perkara-grab-di-kppu-siapa-sih-pt-tpi, diakses pada 14 Oktober 2019, jam 07.38 WIB.
[13] Iwan Supriyatna dan Achmad Fauzi, Meski Minta Ditunda, KPPU Tetap Akan Sidangkan Kasus Monopoli Grab, diakses dari https://www.suara.com/bisnis/2019/10/02/073041/meski-minta-ditunda-kppu-tetap-akan-sidangkan-kasus-monopoli-grab, diakses pada 14 Oktober 2019, jam 07.52 WIB.
[14] Murti Ali Lingga, Tersandung Perkara di KPPU, Grab Tunjuk Hotman Paris Jadi Pengacara, diakses dari https://money.kompas.com/read/2019/10/08/073900626/tersandung-perkara-di-kppu-grab-tunjuk-hotman-paris-jadi-pengacara?page=all, diakses pada 14 Oktober 2019, jam 08.04 WIB.
[15] Siaran Pers No.37/KPPU-X/2019 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI), Grab Indonesia Sampaikan Tanggapan Laporan Dugaan Pelanggaran, diakses dari https://www.kppu.go.id/id/wp-content/uploads/2019/10/Siaran-Pers-No.37_KPPU-PR_X_2019.pdf, diakses pada 14 Oktober 2019, jam 08.11 WIB.
[16] KPPU, KPPU Jatuhkan Sanksi Grab & TPI, diakses dari https://kppu.go.id/blog/2020/07/kppu-jatuhkan-sanksi-ke-grab-dan-tpi/, diakses pada 1 November 2020, jam 07.52 WIB.
[17] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm.30.
[18] Nurul Hasfi, Sunyoto Usmand dan Hedi Pudjo Santosa, Anonimitas di Media Sosial: Sarana Kebebasan Berekspresi atau Patologi Demokrasi?, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.15, No.1 (Januari-April 2017), Hlm.28.
[19] Judit Nagy, dkk., The Role and Impact of Industry 4.0 and the Internet of Things on the Business Strategy of the Value Chain-The Case of Hungary, Jurnal Sustainability, Vol.10, No.10 (2018), Hlm.2.
[20] Dian Wirdasari, Teknologi E-Commerce dalam Proses Bisnis, Jurnal SAINTIKOM, Vol.7, No.2 (Agustus 2009), Hlm.324.
[21] H2 Ventures dan KPMG, 2018 Fintech100 – Leading Global Fintech Innovators, Penerbit H2 Ventures dan KPMG, Sydney, 2018, Hlm.4.
[22] Erica Delia Santoso, Benarkah Iklan Online Efektif untuk Digunakan dalam Promosi Perusahaan, Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi Asia, Vol.13, No.1 (2019), Hlm.29.
[23] Anang Sugeng Cahyono, Pengaruh Media Sosial terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia, Jurnal Publiciana, Vol.9, No.1 (2016), Hlm.156-157.
[24] Dedy Suryadi, Peranan Audit-Pengolahan Data Elektronik sebagai Alat untuk Meningkatkan Efektifitas Pengolahan Gaji dan Upah, Jurnal TEDC, Vol.10, No.3 (September 2016), Hlm.175.
[25] Sukarmi, E-Commerce dalam Perspektif Persaingan Usaha. dalam buku Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaingan Usaha, Penerbit Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta, 2008, Hlm.132.
[26] Binoto Nadapdap, Hukum Persaingan Usaha Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi, Penerbit Kencana, Jakarta, 2020, Hlm.80.
[27] Patroli Siber, Tentang Kami: Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, diakses dari https://patrolisiber.id/about, diakses pada 14 November 2020, jam 10.02 WIB.
[28] Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2012, Hlm.296.
[29] Rita Tri Agustina, Tinjauan Yuridis Larangan Kepemilikan Saham Silang (Share Cross Ownership) antar Perusahaan Telekomunikasi Berdasarkan Undang-Undang Persaingan Usaha, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, Hlm.90.
[30] Cenuk Widiyastrisna Sayekti, Larangan Kepemilikan Saham Silang pada Industri Telepon Selular di Indonesia (KPPU v. Temasek, Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang Kepemilikan Saham Silang), Tesis, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, Hlm.53-69.
[31] Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia – dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012, Hlm.439.
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya