Bila kita dalami lebih lanjut, sistem ketatanegaraan Ibu kota dalam konstitusi di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Dimulai saat periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945), di mana frasa Ibu kota hanya disebutkan 1 (satu) kali yaitu Pasal 2 ayat (2) berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara”,. Tidak disebutkan secara jelas apakah Ibu kota (capital city) yang dimaksud juga termasuk pusat pemerintahan (seat of government) dan tidak juga menyebutkan lokasi Ibu kota dalam konstitusi saat itu. Periode ini mencatatkan Indonesia pernah melakukan pemindahan Ibu kota/pusat pemerintahan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu ke Yogyakarta (Januari 1946) yang disebabkan karena Jakarta diduduki oleh Belanda (Netherlands Indies Civil Administration). Berikutnya pada tanggal 19 Desember 1948, Ibu kota Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat dari yang sebelumnya Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda sehingga Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah petinggi negara ditawan dan diasingkan ke luar pulau Jawa. Sebelum Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Presiden dan wakil Presiden memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Saat Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) disahkan padatanggal 27 Desember tahun 1949 dan diberlakukan, salah satu ketentuan yang tertuang di dalamnya yaitu terkait Ibu kota dalam Konstitusi RIS. Disebutkan dalam Bab III mengenai Perlengkapan RIS Bagian I tentang Pemerintah Pasal 68 bahwa Pemerintah berkedudukan di Ibu kota Jakarta, dikecualikan dalam hal darurat Pemerintah menentukan tempat yang lain. Pasal 70 juga disebut bahwa Presiden berkedudukan di tempat kedudukan Pemerintah, yaitu di Jakarta. Hal ini berarti adanya ketegasan saat konstitusi ini diberlakukan, bahwa Ibu kota adalah pusat pemerintahan negara RIS.
Tak lama setelah itu muncul Konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang diberlakukan tanggal 17 Agustus 1950. Pasal 46 UUDS 1950 disebutkan bahwa Presiden-Wakil Presiden berkedudukan di tempat kedudukan Pemerintah, yaitu di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat Pemerintah menentukan tempat yang lain. Di sini ada ketentuan yang tercantum pada Pasal 68 yang mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan rapat di Jakarta kecuali jika dalam hal-hal darurat Pemerintah menentukan tempat yang lain. Berbeda dengan Konstitusi RIS, Konstitusi UUDS 1950 tidak secara jelas menyebut nama Ibu kota negara adalah Jakarta.
Kemudian pada tahun 1959, tepatnya tanggal 5 Juli, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu substansi atau isi dari dekrit tersebut adalah mencabut berlakunya UUDS 1950 dan kembali memberlakukan UUD 1945. Terkait dengan Ibu kota-nya bila ditinjau dari substansi dari UUD 1945 pasca dekrit dengan UUD 1945 tanggal 18 Agustus adalah sama. Jadi, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menyebutkan apakah Ibu kota juga merupakan pusat pemerintahan dan tidak juga menyebutkan lokasi Ibu kota dalam konstitusi saat itu.
Saat era Reformasi sejak tahun 1998 hingga saat ini berpengaruh besar terhadap perubahan struktur ketatanegaraan yang ada di Indonesia, sehingga menghendaki adanya agenda khusus membahas amandemen UUD 1945 (sekarang disebut UUDNRI Tahun 1945). Terkait dengan Ibu kota RI, pernah terjadi pembahasan dalam rapat panitia ad-Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR ke-30 pada tanggal 5 April 2000. Namun, terkait dengan penegasan Ibu kota negara dalam konstitusi tidak terakomodasi hingga amandemen terakhir. Dalam UUDNRI Tahun 1945 saat ini hanya disebutkan 2 (dua) kali, yaitu Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Pasal 2, “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu kota negara”, serta Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Pasal 23G, “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di Ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”. Jadi, UUDNRI Tahun 1945 tidak menyebutkan apakah Ibu kota juga merupakan pusat pemerintahan dan tidak menyebutkan lokasi Ibu kota.
Di tahun 2022 ini, perlu diketahui bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merestui RUU Ibu kota Negara (IKN) menjadi UU pada tanggal 18 Januari. Terlepas dari dilema terkait Ibu kota negara yang belum secara tegas diatur dalam konstitusi, namun perlu disimak ketika UU IKN ini diberlakukan, akan seperti apa pengaplikasiannya. Harapannya tentu segala sesuatu yang dilakukan harus konstitusional.
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya