Indonesia memang dikenal dengan banyaknya keberagaman suku, agama, ras, dan budayanya sehingga pada lambang negara kita tercantum kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Tidak hanya Indonesia saja yang memiliki keberagaman sebagaimana telah disebutkan, negara-negara tetangga bahkan negara-negara di dunia pun juga memiliki keberagaman itu.
Dengan banyaknya keberagaman yang ada di tiap negara, menyebabkan permasalahan saling mengklaim budaya milik negaranya melalui lembaga internasional bernama the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau yang biasa disingkat UNESCO. Permasalahan ini menjadi salah satu pembahasan yang paling banyak diperbincangkan, apalagi klaim kebudayaan milik Indonesia banyak dilakukan oleh negara lain, khususnya negara tetangga.
Baru-baru ini klaim kebudayaan dilakukan oleh negara tetangga Malaysia. Negeri Jiran ini merencanakan mengajukan kesenian Reog sebagai kebudayaan negaranya ke UNESCO. Maka pemerintah Republik Indonesia (RI), dalam hal ini melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mendukung penuh Reog Ponorogo menjadi Warisan Budaya Tak Benda di UNESCO, sebab sebelumnya pada tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatatkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Intinya Indonesia harus terlebih dahulu mengajukan budaya Reog Ponorogo ke UNESCO daripada Malaysia.
Adapun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap kebudayaan Indonesia agar tidak diklain oleh negara lain? Bila ditelusuri ke belakang, permasalahan terkait pengklaiman kebudayaan suatu negara sudah berlangsung cukup lama, bahkan sampai menjadi bahan perdebatan di tingkat internasional sejak tahun 2001, saat sidang pertama Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC GRTKF) yang diselenggarakan di markas besar WIPO di Jenewa, Swiss. Bahkan lebih lama lagi, substansi mengenai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menjadi perdebatan sejak tahun 1967, yang mana ketika Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works menambahkan Pasal 15.4, yang menyatakan bahwa karya yang belum dipublikasikan dan yang tidak dikenal penciptanya, dapat dilindungi sebagai hak cipta jika diduga si pencipta adalah warga negara pihak pada konvensi tersebut. Negara pihak pada konvensi ini diminta untuk menunjuk otoritas yang berwenang untuk memberikan perlindungan.
Kebudayaan merupakan salah satu jenis ciptaan yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia, dalam hal ini masyarakat hukum adat sebagai pencipta, atau pihak yang memelihara, melestarikan, dan menurunkan kebudayaan tersebut dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun kebudayaan merupakan hasil olah pikir dari kemampuan intelektual manusia, namun perlu dibedakan dengan karya intelektual yang lainnya, yaitu kebudayaan merupakan hasil karya intelektual masyarakat secara bersama/kolektif/komunal, sedangkan karya intelektual pada umumnya lebih menitikberatkan pada karya yang lahir dari kemampuan intelekutual individu/perorangan.
Kebudayaan yang sudah ada ini hendaknya mendapat perlindungan hukum. Makna dari perlindungan hukum itu adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Kata lainnya, perlindungan hukum merupakan upaya hukum yang harus diberikan oleh para penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Apabila ditinjau dari pendapat ahli Phillipus M. Hadjon, mengatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum secara preventif bertujuan agar mencegah terjadinya sengketa yang merujuk ke pemerintah sehingga di dalam bertindak harus bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan berdasarkan diskresi, sedangkan perlindungan hukum secara represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganan di lembaga peradilan.
Dalam konteks saat ini, Reog Ponorogo sejatinya sudah terdaftar sebagai warisan budaya nasional sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Ini adalah salah satu syarat awal untuk mendapat pengakuan dunia atas warisan budaya nasional melalui lembaga UNESCO. Setelah mendapat pengakuan secara nasional, barulah bisa diajukan kepada warisan budaya dunia. Tidak mudah sebenarnya untuk mendapat pengakuan UNESCO sebagai situs maupun warisan budaya dunia. Namun nantinya ketika sudah mendapat pengakuan dari UNESCO, maka secara langsung maupun tidak langsung situs maupun warisan budaya dunia tersebut mendapat perhatian dan perlindungan.
Adapun hikmah di balik kejadian ini adalah bahwa memang perlu adanya penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta secara masif (utuh), sebab dalam peraturan tersebut sudah mengatur tentan Budaya atau Warisan Budaya Bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Bab V Pasal 38, 39, dan 60. Dengan demikian apabila seluruh komponen Ekspresi Budaya Tradisional yang melahirkan budaya warisan bangsa Indonesia sudah terinventarisasi oleh pemerintah, maka seluruh invetaris budaya warisan bangsa Indonesia selanjutnya diajukan ke skala internasional (UNESCO) agar mendapat pengakuan warisan budaya dunia. Dengan demikian kelak bila ada sengketa terkait saling mengklaim budaya Indonesia oleh negara lain, maka kedudukan budaya Indonesia semakin kuat karena adanya pengakuan secara nasional dan internasional.
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya