GAds

Mari Mengenal Hukum Agraria/Pertanahan

Negara kita mengamanatkan kekayaan alam, bumi, dan perairan yang dimiliki saat ini untuk dikelola sebaik-baiknya demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 dikatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, Negara mewujudkan amanat konstitusi tersebut dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang kita kenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bila di dalam studi di fakultas hukum dikenal sebagai mata kuliah Hukum Agraria. Secara Etimologi, Hukum Agraria terdiri dari kata “Hukum” dan “Agraria”, yang mana “Hukum” merupakan sekumpulan atau seperangkat aturan tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan “Agraria” (dalam bahasa Belanda Akker atau bahasa Latin Agger dan Agrarius) yang berarti tanah, ladang, tanah pertanian, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, sehingga “Hukum Agraria” merupakan sekumpulan atau seperangkat aturan yang terkait dengan keagrariaan.

Sistem hukum agraria yang berlangsung di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda hingga setelah Indonesia merdeka. Penerapan hukum agraria di zaman penjajahan Belanda dinilai tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia saat itu karena dianggap diskriminatif dan justru semakin menindas bangsa Indonesia, termasuk adanya kebijakan politik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) pada bidang pertanian.

Pasca Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan dasar-dasar hukum agraria yang selama ini tidak menguntungkan Indonesia. Tahun 1948 pemerintah mulai menyusun dasar-dasar hukum agraria yang akan menggantikan produk-produk hukum milik pemerintah kolonial Belanda bidang hukum agraria melalui 5 (lima) periode sebagaimana dilansir dalam www.jurnalhukum.com:

  1. Periode Panitia Agraria Yogya

Saat tahun 1948, ibukota negara berada di Yogya. Panitia Agraria Yogya dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tanggal 21 Mei 1948, yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo (saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakan:

  1. Pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan;
  2. Anggota-anggota Badan Pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah;
  3. Ahli-ahli hukum adat; dan
  4. Wakil dari Serikat Buruh Perkebunan.

Tugas-tugas dari Panitia Agraria Yogya yaitu:

  1. Memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah seumumnya;
  2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik Indonesia;
  3. Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik; dan
  4. Menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.

Adapun hasil kinerja dari Panitia Agraria Yogya berupa beberapa usulan, yaitu:

  1. Dilepaskannya asas domain dan pengakuan hak ulayat;
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat (hak milik);
  3. Diadakannya penyelidikan mengenai peraturan-peraturan di negara lain untuk menentukan apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah;
  4. Diadakannya penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil agar memperoleh hidup yang patut (wilayah Jawa diusulkan 2 hektar);
  5. Penetapan luas maksimum (untuk Jawa 10 hektar dengan tidak memandang macam tanah);
  6. Skema hak-hak tanah berupa hak milik dan hak atas tanah kosong dari negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain (disebut hak magersari); dan
  7. Diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).
  8. Periode Panitia Agraria Jakarta

Tahun 1951 saat peralihan pemerintahan dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Republik Indonesia (RI), ibukota negara dipindahkan ke Jakarta. Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuklah Panitia Agraria Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951, yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (tahun 1953 digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) dengan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan dan wakil-wakil organisasi-organisasi tani.

Adapun tugas-tugas Panitia Agraria Jakarta hampir sama dengan panitia sebelumnya, dan hasil kinerjanya adalah sebagai berikut:

  1. Batas luas minimum adalah 2 (dua) hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubugan antara pembatasan minimum dengan hukum adat;
  2. Pembatasan maksimum 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu keluarga;
  3. Yang dapat memiliki tana untuk pertanian kecil hanya penduduk Warga Negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli;
  4. Skema hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai; dan
  5. Diakuinya hak ulayat.
  6. Periode Panitia Negara Urusan Agraria/Panitia Soewahjo

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 29 Maret 1955 Nomor 55/1955, dibentuklah Kementerian Agraria yang salah satu tugasnya yaitu untuk mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agraria nasional. Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria yang berkedudukan di Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Januari 1956 Nomor 1/1956, yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo yang beranggotakan pejabat-pejabat pelbagai kementeritan dan jawatan, ahli-ahli hukum adat, dan wakil-wakil beberapa organisasi tani.

Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria. Tahun 1957 Panitia Negara Urusan Agraria berhasil menyelesaikan tugasnya dengan beberapa poin penting rancangan undang-undang, yaitu:

  1. Dihapuskannya asas domain dan diakuinya hak ulayat;
  2. Asas domain diganti dengan Hak Kekuasaan Negara;
  3. Dihapuskannya dualisme Hukum Agraria;
  4. Hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak usaha, hak bangunan, dan hak pakai;
  5. Hak milik hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia tanpa membedakan warga negara asli dan tidak asli, sedangkan badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik;
  6. Diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah;
  7. Pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya;
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
  9. Periode Rancangan Soenarjo

Dengan beberapa perubahan, rancangan yang dibuat oleh Panitia Negara Urusan Agraria diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri tanggal 14 Maret 1958 dan disetujui oleh Dewan Menteri tanggal 1 April 1958. Rancangan tersebut lalu diajukan kepada DPR melalui Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.

  1. Periode Rancangan Sadjarwo

Rancangan peraturan terkait agraria pada periode Soenarjo ditarik melalui Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 Nomor 1532/HK/1960, dikarenakan rancangan tersebut disusun dengan dasar Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Rancangan UUPA yang telah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia diajukan kembali oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Tanggal 14 September 1960 dengan suara yang bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) menerima baik rancangan tersebut dan mendapat pengesahan oleh Presiden Ir. Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering kita sebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. UUPA ini mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?