GAds

Apakah Boleh Hakim Mengambil Putusan Lebih Atau Kurang Dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dalam Ranah Hukum Acara Pidana?

Bagi kalian yang bertanya-tanya apakah boleh hakim memutus perkara pidana lebih atau kurang dari tuntutan (Rekuisitor) Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau biasa disebut sebagai ultra petita, berikut akan dijelaskan lebih lanjut terkait pertanyaan tersebut. Sesuai tata urutan peradilan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), setelah seluruh pemeriksaan dilaksanakan, mulai dari saksi dan saksi ahli (pihak JPU dan Penasihat Hukum Terdakwa) maupun pemeriksaan terdakwa, selanjutnya yaitu JPU membacakan tuntutan terhadap terdakwa, kemudian ditanggapi oleh pihak terdakwa melalui nota pembelaan (pledoi) yang kemudian disambung dengan tanggapan JPU (Replik) dan tanggapan Penasihat Hukum (Duplik). Puncaknya adalah penyampaian putusan oleh Majelis Hakim untuk menyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa.

Penjatuhan pidana melalui putusan Majelis Hakim memiliki ukuran tersendiri. Bila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sesuai dengan yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim menuliskan dalam sebuah bukunya bahwa putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP dapat terjadi jika:

  1. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan;
  2. Majelis Hakim berpendapat bahwa:
  3. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan Jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
  4. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan (misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen);
  5. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta dalam persidangan sesuai pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.
  6. Oleh karena itu, Majelis Hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.

Jadi, rujukan Majelis Hakim dalam memutus perkara yaitu berdasarkan surat dakwaan dari JPU, bukan berdasarkan tuntutan JPU. M. Yahya Harahap dalam judul bukunya “Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (hlm. 354) dikatakan:

“Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.”

Bilamana terdakwa didakwa dengan pasal alternatif, maka pasal mana yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada penilaian pengadilan.

Secara normatif, tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan JPU. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bahkan bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut. M. Yahya Harahap menjelaskan, “Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas.” Undang-undang memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. Pasal 12 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil menyimpulkan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan JPU. Kasus-kasus tertentu di mana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga Hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari tuntutam JPU (ultra petita), maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana. Meskipun ada kebebasan dan independensi Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan, namun ada batasan-batasan yang harus diperhatikan, yaitu:

  1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa, yang boleh yaitu hakim menjatuhkan pidana sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun.
  1. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP atau peraturan di luar KUHP.
  2. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti.

Sekalipun JPU tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang JPU telah memasukkan pasal tersebut dalam dakwaan. Bila tidak dimasukkan dalam dakwaan, maka tidak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Mulai WA
    1
    Hubungi Kami
    Halo Rencang, ada yang bisa kami bantu?