Setelah munculnya polemik PMK 2018 yang cukup membuat blunder keputusan pemerintah karena muncul pencabutan PMK Pajak E-Commerce tersebut, pemerintah mulai berhati-hati. Penetapan pajak memang bukanlah hal yang sepele. Masalah duit berarti masalah perut. Jika terlalu gegabah akan memunculkan kontroversi di tengah masyarakat. Walaupun pemerintah telah memastikan bahwa tidak ada kemunculan perpajakan baru. PMK 2018 hanyalah menegaskan bahwa pelaku bisnis termasuk online juga dibebani kewajiban pajak. Akan tetapi tetap saja ditengah perkembangan digitalisasi yang sedang pesat-pesatnya membuat masyarakat terkaget-kaget. Nah berangkat dari suara-suara terutama dari idEA, pemerintah mengambil sikap dengan menerapkan pajak secara perlahan dan agar supaya tepat sasaran. Dalam artian, ketentuan pajak online tidak diterapkan serentak untuk seluruh produk dan pelaku usaha. Seperti Ketentuan Pajak Produk Digital yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang akan kita bahas di kesempatan kali ini.
Hati-Hati tapi Pasti (Referensi)
Sebelumnya, pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Penanganan Pelaku Ekonomi Digital. Pembentukan tim khusus ini bukan bertujuan untuk membasmi “Pelaku Ekonomi Digital” layaknya Gugus Tugas Penanganan Covid-19 ya Rencang. 😀 Tapi salah satu tugasnya adalah untuk melakukan “spotting” atau menargetkan perusahaan-perusahaan mana saja yang dirasa sudah masuk kriteria untuk menjadi wajib pajak. Perusahaan disini dalam artian perusahaan yang menyediakan produk digital. Terutama yang sudah mapan dan berpenghasilan besar, maka untuk memenuhi rasa keadilan perlu juga untuk dikenai pajak agar tidak membuat perusahaan konvensional iri. Mangkanya pemerintah akan memberlakukan bagi pelaku usaha juga.
Dengan kata lain, pengenaan pajak tidak secara serentak untuk seluruh pengusaha online. Karena mempertimbangkan eksistensi UMKM dan perusahaan menengah yang belum benar-benar siap untuk dikenai pajak. Maka yang disasar pertama adalah perusahaan-perusahaan besar. Maret 2021 ini adalah waktu bagi pemerintah untuk melakukan sounding. Di awal, diberi bocoran bahwa beberapa produk digital seperti layanan streaming, aplikasi dan permainan (game) merupakan layanan yang disasar pemerintah untuk dikenai pajak. Termasuk layanan dari perusahaan internet. Pemerintah menyebutnya sebagai “Pajak Internet”.
Mereka disebut sebagai perusahaan yang bergerak melalui “Perdagangan Melalui Sistem Elektronik” (PMSE). Yang ditunjuk memiliki dua kriteria. Pertama, jika nilai transaksi layanan di Indonesia dalam setahun melebihi jumlah tertentu yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua, jika jumlah pengakses layanannya dalam setahun melebihi jumlah tertentu yang juga ditetapkan pemerintah. Sifat pemilihannya bersifat alternatif. Artinya tidak harus memenuhi keduanya untuk menentukan suatu perusahaan merupakan wajib pajak PPN PMSE. Dengan adanya sistem seperti ini, pemerintah sepertinya menangkap bahwa tidak semua pelaku usaha terutama menengah kebawah dapat dikenai pajak sekaligus.
Angkatan Awal Perpajakan Digital
Berdasarkan siaran pers DJP Nomor SP-29/2020 pada 7 Juli 2020, pemerintah menunjuk enam perusahaan global sebagai pemungut PMSE yaitu Netflix, Amazon, Google, Google Asia Pasifik, Google Irlandia dan Spotify. Pada 8 September 2020, pemerintah melalui siaran pers DJP Nomor SP-41/2020 kembali menunjuk 12 perusahaan sebagai pemungut PMSE yaitu LinkedIn, McAfee, Microsoft, Mojang, Novi, Vuclip, Skype, Twitter International, Twitter Asia Pasifik, Zoom, JD dan Shopee sebagai perusahaan pemungut PMSE. Perusahaan yang ditunjuk pemerintah harus memiliki persiapan yang matang terlebih dahulu. Untuk parameter kesiapannya dapat dilihat di Peraturan DJP Nomor Per-12/PJ/2020. (Sumber)
Tapi yang jadi pertanyaan dan harus diluruskan, sebenarnya pajak ini dibebankan kepada siapa? Apakah kepada perusahaan atau kepada kita? Rupanya tetaplah kepada kita sebagai konsumen akhir/pengguna layanan. Karena kategorisasi pajak internet ini adalah masuk PPN. Mirip seperti ketika kita membeli sesuatu di minimarket atau supermarket yang mana juga dikenai PPN. Akan tetapi wajib pajak yang harus menyetorkan kan bukan kita melainkan tempat dimana kita membeli produk. Maka jangan dipikirkan pembebanan itu adalah harga tambahan yang mempermahal biaya produk bagi kita selaku konsumen atau pengguna layanan. Akan tetapi sebagai pajak kepada negara, layaknya membeli barang di minimarket atau supermarket. Disinilah parameter di mana negara kita siap untuk menerima digitalisasi. Siap dengan Ketentuan Pajak Produk Digital? 🙂
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya
#SemuaAdaJalannya
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya